MENANTI KEADILAN: URGENSI PENYELESAIAN MASALAH PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DI UJUNG MASA TRANSISI
DISUSUN OLEH:
HARI ANGGARA
10410456
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
PENDAHULUAN
Reformasi dengan terus dilakukannya pembenahan di bidang hukum serta dijalankannya pemberantasan KKN dirasa masih belum maksimal dengan belum dijalankannya salah satu agenda penting, yakni penyelesaian secara menyeluruh berbagai kasus pelanggaranHak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Berbagai kasus seperti extrajudicial killings danarbitrary detention menyusul peristiwa 19652 hingga kini masih belum menentukan titikterang, atau bahkan ditelantarkan3. Demikian juga dengan berbagai penculikan danpenghilangan paksa sejumlah aktivis4, Tragedi Trisakti (Mei 1998), Tragedi Semanggi I(November 1998) dan II (November 1999) adalah sejumlah kecil saja gross violation ofhuman rights masa lalu yang masih belum terselesaikan hingga kini. Padahal, penyelesaian secara tuntas masalah pelanggaran HAM masa lalu amat penting untuk segera dilakukan, mengingat momen peralihan yang kini sedang dijalani diyakini sebagai momen yang paling tepat untuk melakukan perhitungan. Tulisan ini tak hendak membahas apalagi menginventaris secara mendetail berbagai pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, namun bermaksud mengkaji mengapa hampir satu dasawarsa setelah reformasi 1998, berbagai pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu masih juga belum tuntas terungkap. Selain pula akan mencari faktor :
1 Pengajar Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Master of Laws (International & Comparative Law) diraih dari Monash University Law School Melbourne Australia. Kini menjabat sebagai Ketua Penyunting Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.e-mail : manunggal.wardaya@gmail.com
2 Banyak pembunuhan menimpa mereka yang diduga anggota dan simpatisan PKI. Korban pada umumnya tersebar di
Jawa dan Bali dengan jumlah korban diperkirakan mencapai satu juta jiwa. Mengenai hal ini bacalah antara lain Robert
Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Centre of South East Asia Studies Monash
University, Clayton, 1990), Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000). Gambaran penahanan tanpa
peradilan para tahanan politik PKI di Pulau Buru dituliskan secara bagus dilengkapi dengan data-data korban oleh
sastrawan Pramoedya A. Toer dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Penerbit Lentera, Jakarta, 1995), terkhusus pada
hal. 290-303.
3 ‘Ketua Komnas HAM: Pelanggaran HAM Masa Lalu Ditelantarkan’, Kompas 2 Mei 2005 hal. 6.
4 Data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan mereka yang diculik pada
1997/1998 berjumlah 23 orang. 9 orang telah dibebaskan, 1 ditemukan meninggal dan 13 orang lainnya hingga kini
dinyatakan hilang. Lihat ‘Korban Penculikan Menuntut’, Kompas 17 Maret 2005 hal. 7. Sementara itu mantan Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengatakan bahwa kesemua orang yang diculik telah meninggal.
Faktor yang menyebabkan terhambatnya pemberian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu, tulisan ini hendak menekankan arti penting segera dituntaskannya permasalahan HAM masa silam. Pada akhirnya, tulisan ini hendak memberi saran bagi percepatan keadilan transisi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Paska Orde Baru, harapan akan terwujudnya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu seolah menemukan titik terang. Bisa dimengerti, karena selama lebih dari tiga dekade Orde Baru, situasi politik yang represif-autoritarian tidak memungkinkan para korban untuk mendapatkan keadilan yang dicitakan. Dunia peradilan di era Orde Baru begitu terkooptasi oleh kekuasaan5. Pers terbelenggu dan terbatasi oleh berbagai produk hukum yang bukannya fasilitatif, namun justeru mengekang6, sementara parlemen hanya merupakan kepanjangtanganan kekuasaan7. Kini, dengan adanya keterbukaan dan demokratisasi8, pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi aspirasi masyarakat terkhusus para korban seolah menemukan momen tepat untuk segera dilaksanakan9. Dalam suatu seminar mengenai keadilan transisional juga
5 Hakim-hakim di masa Orde Baru misalnya secara administrasi berada di bawah Departemen Kehakiman, yang
dikepalai oleh seorang menteri yang bertanggungjawab pada Presiden.
6 Pada masa Orde Baru dikenal apa yang disebut breidel, yakni pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
oleh Menteri Penerangan, jika Pers memuat berita yang berseberangan dengan kehendak penguasa. Breidel pernah
menimpa tiga penerbitan terkemuka di Indonesia yakni Tempo, Detik ,dan Editor terkait dengan pemuatan berita
mengenai pembelian kapal perang eks- Jerman.
7 Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru merampingkan puluhan partai politik yang ada untuk melebur (apa yang
dikenal dengan fusi partai) menjadi 2 (dua) partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi
Indonesia dan 1 (satu) Golongan Karya. Partai politik kala itu tidak pernah mandiri, karena campurtangan yang begitu
mendalam oleh pemerintah. Praktis hanya Golkar yang memenangi berbagai pemilu sepanjang sejarah Orde Baru.
8 Basil Fernando dari Asian Human Rights Commission mendefinisikan demokratisasi sebagai “ a process whereby
people engage in constructing a state for their own benefit with social equality as its core principle, working through an
elected government operating under the rule of law, supported by functioning institutions subject to a constitutional
framework incorporating international norms and standards as set out in United Nations’ human rights treaties and
covenants”. Lihat Basil Fernando, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam Protection
and Participation: Human Rights Approach (2003), hal. 19.
9 Pada 24 Maret 2005 misalnya, korban dan keluarga korban dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada
kerusuhan Mei 1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mendatangi Komnas
HAM. Mereka yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan isteri korban yang diculik yang hingga kini tak jelas
keberadaannya. Lihat ‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM Janjikan Pertengahan Mei
2005’, Kompas 26 Maret 2005 hal. 7. Sementara itu para korban yang dituduh terlibat G 30 S/PKI menggugat 10 miliar
kepada mantan-mantan presiden dari Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Menggunakan jalur class action dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata, para korban
merasa bahwa hak dasar mereka sebagai warganegara telah dirampas tanpa mendapat rehabilitasi dari Negara. Padahal
pada tahun 2003 Mahkamah Agung pernah menyarankan pada Presiden agar merehabilitasi para korban yyang dituduh
terlibat G 30 S PKI sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-empat. Lihat ‘Korban G30SPKI Gugat
Para Presiden’ dalam majalah Legal Review No. 33 Th II Juni 2005, hal. 29.
terungkap bahwa penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu adalah mendesak
untuk dilaksanakan jika Indonesia masih berkomitmen sebagai negara demokrasi10.
1. Beberapa Alasan Pentingnya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM masa
Lalu
Setidaknya ada tiga alasan mengapa penyelesaian berbagai kasus masa lalu mendesak untuk segera dilaksanakan. Pertama, dapat dikatakan bahwa Indonesia kini masih berada
pada masa peralihan/transisi dari periode otoriter ke rezim yang (lebih) demokratik. Masa
peralihan adalah masa yang strategis, momen paling tepat untuk menyelesaikan kasus-
kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM pemerintahan lalu yang autokratik dan
sewenang-wenang. Dikatakan sebagai masa yang strategis karena pelaku pelanggaran
HAM diharapkan masih dapat dimintai pertanggungjawabannya. Demikian pula barang
bukti yang mendukung pengungkapkan diharapkan masih dapat diinventaris, dan saksi-
saksi maupun korban diharapkan pula masih dapat mengingat peristiwa dengan baik.
Kedua, penyelesaian kasus masa lalu mempunyai misi penting untuk mencegah impunitas
atau kekebalan dari para pelanggar HAM. Kesan bahwa para pelanggar HAM bisa bebas
meninggalkan korbannya tanpa pertanggungjawaban tentu saja merupakan sesuatu yang
sangat kontras dengan nilai-nilai keadilan dan cita-cita negara hukum. Penetapan
kesalahan terhadap pelaku penting agar doktrin equality before the law dalam negara
hukum yang juga merupakan norma internasional dalam Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)11 tidak hanya menjadi sekedar mitos.
Ketiga, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan memberikan keadilan dan
pemulihan hak bagi para korban adalah adalah hak setiap orang yang dilanggar hak
dasarnya sebagaimana diamanatkan Pasal 8 UDHR12. Lebih jauh, pemberian keadilan
bagi para korban adalah syarat mutlak tercapainya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi atau
10 Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (2003), hal. 280.
11 Doktrin ini terdapat dalam Pasal 7 UDHR menegaskan “All are equal before the law and are entitled without any
discrimination to equal protection of the law. All are entitled equal protection against any discrimination in violation of
this Declaration and against any incitement to such discrimination.” Piagam Hak Asasi Manusia Jakarta yang
didekelarasikan para korban pelanggaran HAM pada 10 Desember 2003 menyatakan bahwa semua korban pelanggaran
HAM berhak atas penyelesaian yang adil melalui sistem hukum yang transparan dan terbuka. Korban juga berhak
mendapat kompensasi, rehabilitasi nama dan martabat sehingga martabat dan statusnya dalam hubungan antar manusia
dapat dipulihkan. Lihat mengenai ini dalam Josefina Bergsten & Philip Setunga et.al (eds), Close Contact With Victims
Makes Human Rights Work Meaningful and Effective (2004), hal 150.
12 Pasal 8 UDHR menegaskan “Everyone has the right to effective remedy by the competent national tribunals for act
violating fundamental human rights granted by him by the constitution or by law.”
perdamaian atau persahabatan baru akan mungkin terwujud, jika pelaku telah ditetapkan
sebagai pihak yang bersalah dan menjalani hukuman (atau kewajiban lain menurut
hukum), dan pihak korban mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan pemulihan
nama baik. Tanpa adanya pengungkapan dan penetapan siapa yang salah dan
bertanggung jawab dan kewajiban bagi pelaku (apakah untuk menjalani hukuman,
meminta maaf dan atau memberi ganti rugi) akan sangat sukar dapat tercipta perdamaian
dan persahabatan13. Bagaimana mungkin akan memaafkan atau melupakan peristiwa
masa lalu jika korban masih dihinggapi rasa penasaran dan dendam serta terzalimi? Alih-
alih melupakan dan memaafkan, benih kebencian dan permusuhan bisa jadi akan tetap
hidup dan dapat menimbulkan masalah pelik di kemudian hari, bahkan jauh berpuluh
bahkan beratus tahun setelah pelanggaran HAM terjadi.
2. Faktor Penghambat Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa –setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat-
pengungkapan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu berjalan dengan
amat lambat dan tersendat? Bahkan kalaupun telah sampai pada proses hukum
sebagaimana Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, keputusan Pengadilan HAM
ad hoc bukannya memberi keadilan pada korban, namun sebaliknya justeru
mengecewakan14. Jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan ini adalah pertama;
karena banyak pihak yang bertanggungjawab dalam pelanggaran HAM masa lalu masih
mempunyai pengaruh dalam pemerintahan15. Kalaupun tidak secara langsung memegang
kendali pemerintahan, jaringan yang dimiliki baik dalam eksekutif maupun legislatif
membuat mereka tetap mampu untuk berusaha berkelit dan menghindar dari proses
hukum16. Kesimpulan Pansus DPR pada 27 Juli 2001 yang menyatakan bahwa kasus
Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat adalah bukti bahwa
13 Lihat Asvi W. Adam, ‘Reparasi Masa Lalu’, Jawa Pos 18 Juli 2005.
14 Pengadilan HAM Tinggi ad hoc Kasus Tanjung Priok memutuskan bahwa semua terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat. Dalam pertimbangannya hakim juga berpendapat
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah pelanggaran HAM berat, namun pelanggaran hukum pidana
biasa sesuai Pasal 351 KUHP yakni penganiayaan, sehingga kasus tersebut bukanlah komptenesi pengadilan HAM ad
hoc.
15 Soetandyo Wignjosoebroto, ‘Transitional Justice (TJ): Apakah Itu dan Perlukah ‘TJ’ Ini Direalisasi?’ dalam
Soetandyo Wignjosoebroto, Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 (2003) 92. Adanya unsur militer
dalam tubuh Komnas HAM juga disinyalir Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) sebagai faktor yang
membuat kinerja Komnas HAM menjadi lambat dalam menangani orang hilang. Lihat ‘Dalam Kasus Orang Hilang
Keseriusan dan Keberanian Komnas HAM dipertanyakan’, Kompas 23 Maret 2005 hal.7.
16 Ketika membahas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Fraksi TNI/Polri menolak dan mengusulkan
dihapuskannya kata ‘kebenaran’ dari komisi ini. Lihat mengenai hal ini dalam ‘Pembahasan RUU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi: Elsam Menolak Usulan dari Faksi TNI/Polri’ Kompascybermedia <http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0405/24/Politikhukum/1039111.htm> diakses pada 24 Mei 2004.
kekuatan dan jaringan yang dimiliki oleh ‘unsur masa lalu’ dalam badan legislatif masih
kuat dan mampu membuat para pelaku secara legal terhindar dari tanggung jawab.17
Mantan Presiden Soeharto yang disebut-sebut sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab terhadap berbagai pelanggaran HAM berat selama masa
kekuasaannya yang lebih dari 30 tahun hingga tulisan ini diturunkan masih juga bebas.
Mereka yang dekat dengan Soeharto, atau mendukung kekuasaannya yang represif
masih ada dalam kekuasaan atau setidaknya mempunyai relasi yang kuat dan intim
dengan kekuasaan yang ada.
Ke-dua, jika dicermati, pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia hampir selalu melibatkan
pihak-pihak yang memiliki legitimasi untuk menggunakan alat-alat kekerasan yakni militer
dan kepolisian. Kalaupun pelanggaran dilakukan oleh elemen masyarakat, setidaknya
dukungan dan peran militer tak bisa sama sekali dilepaskan18. Keterangan para aktivis
dan mantan korban yang selamat menunjukkan bahwa aparat berperan dalam penculikan
dan penganiayaan terhadap mereka19. Penembakan yang berakhir dengan tewasnya
demonstran dalam Tragedi Semanggi, kerusuhan Mei 1998 dan dugaan pemerkosaan
terhadap etnik Tionghoa pada mei 1998 mengindikasi kuat adanya suatu upaya yang
sistematik dari pihak-pihak yang mempunyai kemampuan persenjataan dan mobilisasi
untuk melakukannya20. Kendati pelaku tidak lagi duduk dalam kekuasaan maupun
jabatan-jabatan strategis lainnya (dengan adanya desakan profesionalisasi tentara), jiwa
17 Lihat ‘Kasus Trisakti Mungkin Dibuka’, Kompas 28 Juni 2005 hal. 3. Dari 50 anggota Pansus, hanya 26 orang yang
hadir, sedangkan 14 dari 26 orang itu menyatakan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi adalah pelanggaran biasa. Pada
30 Juni 2005 keputusan ini akhirnya dibatalkan oleh Komisi III DPR yang menginginkan agar kasus itu dibuka kembali
dan agar segera dibentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc. Sebenarnyalah keputusan DPR itu lebih bersifat politik adanya,
karena Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 hanya menyebutkan bahwa terbentuknya Pengadilan ad hoc adalah
atas usulan DPR, jadi keputusan Pansus DPR yang menyatakan tidak adanya pelanggaran HAM berat sebenarnya tidak
relevan bahkan berlebihan. Lihat Fajrimei A.Gofar, ‘Angin Segar dari Senayan?’, Kompas 7 Juni 2005 hal. 6.
18 Lihat misalnya Brian May, The Indonesian Tragedy (1978) hal. 121-22. Dalam pembantaian massa PKI, Harold
Crouch menulis “Although they had not sought the formal permission of the leaders of the KAP-Gestapu or the military
authorities, it is likely that they had been assured by junior army officers that the senior generals would not be
displeased if the PKI buildings were “spontaneously” attacked by the “people”. In any case, the army took no steps to
protect the PKI building, and it did not act to stop further attacks on other building associated with the PKI during next
few days. Lihat Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (1978) hal. 141. Kerusuhan dan konflik horizontal
yang terjadi paska Orde Baru juga disinyalir oleh Asian Legal Resource Centre sebagai bagian dari upaya militer untuk
tujuan-tujuan politis dan financial. Lihat Asian Legal Resource Centre, ‘Attacks on Human Rights Defenders in
Indonesia: Written Statement To The UN Commission on Human Rights 58th Session, 2002’ dalam Article 2 Vol.1
No.1 February 2002, hal. 33.
19 Baca misalnya Ahmad Taufik, ‘Dari Penjara Ke Penjara’ dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Politik
Pembebasan Tapol (1998), hal. 1-14.
20 Lihat ‘Soeharto Harus Ditanyai soal Penculikan Aktivis’, Kompas 16 Mei 2005 hal.6.
korps dan solidaritas membuat penyidikan terhadap mereka yang berasal dari unsur
militer mengalami kendala yang cukup signifikan.
Ke-tiga, upaya untuk mengungkap kebenaran masa lalu juga dipersulit dengan tentangan
yang cukup serius dari masyarakat. Hal ini karena ada elemen masyarakat juga terlibat
dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Upaya penggalian kuburan maupun
pemakaman kembali korban pembantaian paska peristiwa 1965 di Temanggung misalnya
mendapat tentangan dari sejumlah elemen keagamaan tertentu21. Hal ini bisa dimengerti
karena kasus pembantaian masa yang diduga anggota maupun simpatisan PKI selama
ini seolah mempunyai justifikasi, terutama jika dikaitkan dengan stereotype PKI yang tak
beragama, perilakunya yang dicitrakan sebagai kejam22 dan predikat yang melekat
sebagai partai terlarang23. Jika peristiwa pembantaian paska 1965 hendak dikatakan
sebagai pelanggaran HAM, maka kebenaran yang telah diyakini bahwa PKI harus
dibubarkan dan orang-orang yang diduga layak untuk dihabisi akan menjadi tercabar.
Sebaliknya kalau elemen masyarakat yang terlibat pembantaian-terlebih mereka yang
berasal dari kalangan agama- hendak dinyatakan sebagai pelanggar HAM, hal demikian
dipastikan tak akan mudah diterima.
Faktor lain yang membuat Indonesia tak mampu secara maksimal dan sesegera mungkin
memanfaatkan momen peralihan adalah kendala politik. Paska Orde Baru Soeharto,
Indonesia dipimpin beberapa rezim berbeda yang mempunyai kepentingan politik dengan
tidak dituntaskannya penyelidikan kasus pelanggaran HAM24. Pada masa pemerintahan
Habibie, pengusutan dan pengadilan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Mudah
dimengerti, ia berkepentingan untuk melindungi sang patron, Soeharto. Habibie memang
membebaskan para tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) pada hari-hari
21
Lihat
Lembaga
Studi
dan
Advokasi
Masyarakat,
‘Kebencian
Ternyata
Awet’
<http://www.elsam.minihub.org/txt/asasi/2001_0304/06.html> diakses pada 22 Juni 2005. Lihat pula ‘Pro-Kontra
Penghapusan
Tap
XXV/1996’
(2000)
Kompascybermedia
<http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0004/03/nasional/prok06.htm> diakses pada 22 Juni 2005.
22 Pada masa Orde Baru, diciptakan sebuah film berjudul ‘Pengkhianatan G 30 S PKI’ karya Arifin C. Noor. Film ini
menjadi tontonan wajib anak sekolah sekaligus menjadi indoktrinasi dan penggiringan bahwa Partai Komunis Indonesia
bertanggung jawab terhadap pembunuhan 6 (enam) jenderal Angkatan Darat di Jakarta pada dinihari 1 Oktober 1965.
Setelah Soeharto turun dari kekuasaannya, berbagai spekulasi mengenai siapa yang berada di balik malam berdarah itu
mengemuka kembali, namun hingga kini tidak ada satu teoripun yang dianggap sahih untuk menentukan siapa yang
bertanggung jawab.
23 Dikukuhkan dengan Tap MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966.
24 Hal seperti ini sebenarnya juga terjadi di negara lain, di mana rezim yang baru mengalami banyak kendala ketika
menghadapi permasalahan yang kompleks yang disebabkan tuntutan terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Lihat
‘Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi’
dalam
Tempointeraktif
2
Mei
2004
<http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/05/02/nrs,20040502-02,id.html> diakses pada 22 Juni 2005.
pertama kekuasaannya, namun langkahnya itu disinyalir tak lepas dari tekanan
internasional25. Tidaklah mengherankan jika pembebasan para tahanan politik dan
narapidana politik tidak diikuti dengan pengungkapan maupun peradilan pelanggaran
HAM masa lalu.
Kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang kemudian menggantikan Habibie sebenarnya
diharapkan akan mengungkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Wahid dikenal
sebagai figur penganjur demokrasi yang melakukan berbagai hal yang cukup signifikan
bagi penghormatan HAM seperti pengakuan eksistensi minoritas dan toleransi antar umat
beragama26. Ia juga sempat menyampaikan permintaan maaf kepada para korban
pelanggaran HAM 196527. Namun demikian, relasi Wahid dengan organisasi masyarakat
yang sedikit banyak juga terkait dengan peristiwa pembantaian masa yang diduga
anggota PKI tahun 1965-1966, menimbulkan kesukaran tersendiri baginya. Walau juga
mendapat pujian, usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran
PKI dan pelarangan ajaran marxisme, leninisme dan komunisme juga mendapat
tentangan banyak pihak.
Adapun pengganti Wahid yakni Megawati Soekarnoputri sebenarnya diharapkan mampu
memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Sebagaimana luas
diketahui, Megawati bersama pendukungnya adalah korban dalam kasus 27 Juli 199628.
Namun sayangnya, peluang yang terbuka tidak dimanfaatkan pimpinan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan itu dengan baik. Kendati mendapat legitimasi yang kuat serta
mengeluarkan beberapa produk hukum penting yang berkaitan dengan HAM29, Megawati
25 Mengenai pembebasan para tahanan politik segera setelah runtuhnya rezim Soeharto dapat dibaca dalam Politik
Pembebasan Tapol (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998).
26 Dengan Inpres No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 Wahid mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
27 Walau mengakui bahwa ia mempunyai kerabat yang terbunuh oleh orang Komunis pada peristiwa Madiun 1948,
Wahid tidak menyimpan dendam. Lihat Asvi W. Adam, ‘Gus Dur, Pahlawan HAM’ dalam Kompas 18 Juli 2005 hal. 6.
28 Peristiwa yang dikenal dengan akronim Kudatuli ini terjadi ketika ratusan massa yang diduga adalah massa preman
dengan bantuan aparat keamanan menyerbu kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro,
Jakarta. Penyerbuan ini didiamkan saja oleh aparat yang berjaga di sekitar Jalan Dipoegoro. Ratusan massa pendukung
Megawati yang berusaha mempertahankan kantor tersebut dikabarkan hilang, dan banyak yang percaya bahwa mereka
telah tewas dalam serbuan itu. Sementara sekelompok anak muda yang menamakan diri Partai Rakyat Demokratik
(PRD) yang membela Megawati menjadi korban politik dengan peristiwa itu. Mereka mendapat cap sebagai gerakan
kiri baru dan komponen pendukung aliran komunisme, suatu cap yang merupakan stempel mati dalam kehidupan
politik di Indonesia. Kebanyakan anggota PRD ditangkap dan dipenjarakan hingga dibebaskan ketika Habibie menjabat
Presiden.
29 Antara lain dikeluarkan PP RI No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran HAM Berat.
ternyata tidak bisa melepaskan diri dari kompromi dan berkoalisi dengan unsur-unsur
masa lalu (baca Orde Baru) terutama militer demi mempertahankan posisinya sendiri30.
Slogan-slogan untuk menjunjung tinggi hukum seperti yang sering didengung-dengungkan
sebelum ia berada di kekuasaan tidak terbukti, walau untuk kasus yang menimpanya
sendiri.
3. Tiadanya Penuntutan: Kecelakaan Besar
Semakin terbengkalainya pengusutan dan pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu
tentu akan membawa dampak yang tidak baik jika tidak sesegera mungkin dilakukan
langkah langkah menuju ke arah penyelesaian. Impunitas, atau kekebalan akan menjadi
terlembagakan. Sebagaimana hukum pidana telah mengingatkan, sanksi keras akan
menjadi penjera dan pencela bagi pelaku sekaligus peringatan bagi pihak lain untuk tidak
melakukan kejahatan serupa. Tidak dilakukannya penuntutan dan pengungkapan serta
pemberian sanksi terhadap kejahatan HAM masa lalu akan menjadi inspirasi mereka yang
kuat dan berkuasa untuk menggunakan cara apa saja termasuk melanggar HAM demi
kekalnya kekuasaan yang dimilikinya.
Tidak adanya penuntutan yang serius dan pengungkapan peristiwa juga akan menjadi
inspirasi bagi pihak-pihak lain kelak di kemudian hari untuk mengulangi melakukan hal
yang serupa. Pembunuhan aktivis HAM terkemuka Munir pada akhir 2004 bisa jadi adalah
akibat tidak langsung dari tidak adanya penuntasan akan penyidikan dan pengadilan
pelanggaran HAM masa lalu atas berbagai peristiwa penculikan dan pembunuhan para
aktivis31. Demikian juga peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa sebagaimana terjadi di
Makassar pada 2004 bisa jadi dilakukan karena alam bawah sadar aparat ‘terilhami’
peristiwa Semanggi sebagai hal yang biasa saja, dan bukan merupakan pelanggaran hak
fundamental manusia.
Pada akhirnya tiadanya klarifikasi sejarah dan tidak diberikannya keadilan kepada para
korban akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan hukum. Konflik
30 Lihat Mugiyanto, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Kekhawatiran Korban Pelanggaran HAM’, SUAR Vol.5
No. 08 & 09 Tahun 2004, hal. 10.
31 Pegiat HAM Munir dibunuh dengan cara diracun arsenik ketika sedang berada dalam penerbangan menuju
Amsterdam untuk melanjutkan studi Masternya di Nederland. Diduga, pembunuhan itu terkait dengan upaya Munir
untuk membongkar berbagai kejahatan HAM masa lalu. Di luar Indonesia hal serupa pernah menimpa Bishop Jose
Juan Gerardi , koordinator REHMI –semacam komisi kebenaran – di Guatemala yang dibunuh oleh pihak-pihak yang
tak ingin kebenaran terungkap.
dan dendam akan terpelihara dalam memori para korban dan atau keluarganya yang bisa
meledak kelak di kemudian hari dalam bentuk konflik yang lain baik yang vertikal maupun
horizontal. Hukum tidak lagi dijadikan sebagai sarana penyelesaian masalah bagi para
korban, pencari keadilan atas pelanggaran HAM. Sebaliknya hukum akan semakin
dianggap dan dirasakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan penindas bagi
mereka yang lemah.
4. Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu terkhusus di Indonesia,
kemauan dan keberanian politik yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat
mutlak diperlukan. Hal ini karena pengungkapan dan penuntasan pelanggaran HAM di
negeri yang baru lepas dari belenggu pemerintahan yang otokratik adalah pekerjaan maha
berat yang dipastikan akan mendapat resistensi dari pihak-pihak yang berkepentingan
agar pelanggaran HAM masa lalu tetap tak tersentuh. Legitimasi dari rakyat adalah modal
yang harus dimanfaatkan untuk terus mengadakan penyelidikan dan tindakan tindakan
penyelesaian baik melalui Pengadilan HAM ad hoc maupun melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
Pemerintahan Presiden Yudhoyono yang ketika tulisan ini dibuat masih berjalan, nampak
menunjukkan komitmen untuk memberikan keadilan terhadap para korban dan
pengungkapan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu32. Pada masa
rezim SBY pulalah secara khusus dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
sebagaimana dimandatkan pembentukannya melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang
Persatuan Nasional. Meskipun masih ada kelemahan di sana sini dalam UU KKR,
pembentukan komisi ini dengan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR menunjukkan
kemauan politik yang tentu saja patut disambut baik. Keberanian Yudhoyono yang
notabene berasal dari militer akan diuji, apakah ia mampu bertindak tegas dengan
dukungan rakyat ataukah hendak melindungi unsur masa lalu yang sarat dengan
pelanggaran HAM.
Momen di masa transisi harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, wakil rakyat di
parlemen, Komnas HAM maupun KKR. Tugas yang dipikul oleh KKR dipastikan akan
32 Lihat ‘Presiden Ingin Rehabilitasi dan Beri Kompensasi Tapol’, Kompas 17 Maret 2005 hal. 6.
maha berat, oleh karenanya komisi ini harus selalu diisi oleh figur-figur yang tidak saja
menguasai teknis hukum dan perundangan, namun juga mempunyai kredibilitas dan
komitmen tinggi untuk menegakkan penghormatan HAM33. Karena sifatnya yang sangat
strategis dan rekruitmen yang sangat terbuka, bukannya tak mungkin mereka yang tidak
menghendaki pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu berusaha memasuki organisasi
ini. Di sinilah kontrol dari masyarakat terutama para korban menjadi relevan untuk
menjaga KKR dari upaya-upaya pengaburan dan impunitas para pelanggar HAM berat.
KKR juga dituntut untuk bekerja dengan cepat, karena semakin lama kasus bergulir, maka
akan semakin sukarlah untuk mengumpulkan barang bukti dan mendapat keterangan dari
para saksi yang berarti pula akan semakin sukar menyatakan bahwa seseorang atau
pihak tertentu bersalah dan atau bertanggungjawab terhadap suatu peristiwa pelanggaran
HAM. Kasus yang telah terjadi puluhan tahun silam seperti kasus 1965 adalah hal krusial
yang mendesak untuk diselesaikan mengingat baik pelaku maupun para korban kini telah
dalam usia lanjut, dan banyak saksi sejarah telah meninggal dunia, dan bukti-bukti telah
sukar diketemukan. Jika terus berlarut dan tidak menemukan titik terang, pada gilirannya
nanti, dendam yang ditimbulkan dari perasaan terzalimi yang tak pernah terobati akan
tetap mengendap di hati masyarakat dan menjadi permasalahan laten.
Pemberian keadilan kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi
Kebenaran tidaklah dapat disamakan dengan proses hukum pada umumnya. Di sini,
muatan politik cukup mengedepan dan mewarnai, selain kompleksnya permasalahan
hukum yang akan ditimbulkan. Penetapan pihak yang bersalah menjadi penting dilakukan,
walau tidak selalu diikuti dengan penghukuman para pelaku (karena berbagai kendala
seperti yang disebut di atas). Indonesia bisa mengambil contoh dan mempelajari berbagai
33 Dari wawancara terhadap calon anggota KKR pada 12-15 Juli 2005 terungkap bahwa dari 61 calon yang lolos seleksi
tahap III (profile assessment test ) tidak seluruhnya menguasai hal ihwal KKR dengan baik. Ada calon anggota yang
mengkaitkan KKR dengan korupsi dan hal-hal lain yang tidak relevan dengan keadilan transisional. Bacalah mengenai
hal ini dalam ‘Seleksi Anggota KKR: Motivasi Calon Dipertanyakan’, Kompas 16 Juli 2005 hal.3. Keanggotaan KKR
yang berjumlah 21 juga dinilai terlalu besar dan dikhawatirkan akan membuat KKR tidak diisi dengan orang-orang
yang berkualitas. Lihat mengenai hal ini dalam ‘UU KKR Sarat kepentingan Politik’ , SUAR vol. 5 No. 08 & 09 Tahun
2005 hal. 12, sebuah wawancara dengan Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(Elsam).
model transitional justice seperti yang pernah dilakukan di Spanyol, Ethiopia, Argentina,
South Africa, maupun El Savador34.
KESIMPULAN
Esensi terpenting dari transitional justice adalah para korban pelanggaran HAM berat
masa lalu mendapatkan keadilan sesegera mungkin ketika suatu negara berada dalam
masa transisi/peralihan. Pemberian keadilan bagi para korban ini sekaligus edukasi yang
amat berharga bagi masyarakat untuk mengetahui lembar hitam pekat sejarah bangsa
yang tak boleh terulang lagi di kemudian. Lebih jauh dengan adanya pengungkapan dan
pelurusan sejarah maka perdamaian sebagai bentuk-bentuk keadilan transisional,
rekonsiliasi, ishlah, atau apapunlah namanya untuk tercapainya kohesi nasional akan
menjadi sesuatu yang possible untuk diwujudkan.
Transitional justice berangkat dari pemikiran bahwa suatu negara hendak menyelesaikan
masalah-masalah pelanggaran HAM berat masa lalu ketika negara tersebut sedang
berada di masa peralihan dan penyelesaian sengketa dengan mengggunakan prosedur
hukum biasa adalah mustahil. Pemerintah –oleh karenanya- harus memanfaatkan momen
transisi ini dengan sebaik mungkin untuk sesegera mungkin memberikan keadilan bagi
para korban. Terlalu berlarutnya penyelesaian akan membuat bangsa ini kehilangan
momen transisi, karena sudah tak lagi layak untuk disebut “berada dalam masa
peralihan”. Pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu di masa ‘mapan’ tidak bisa
lagi menggunakan pendekatan dan kerangka berfikir transitional justice, melainkan
dengan hukum positif biasa. Padahal kita tahu, penyelesaian dengan jalur hukum biasa
(yang formalistik dan prosedural itu) kerap membawa hasil yang jauh dari keadilan yang
substansial.
34
Analisa mengenai model-model transitional justice dan kemungkinannya untuk diterapkan di Indonesia dapat dibaca
dalam Manunggal K. Wardaya, ‘Justice For The Victims: The Importance To Reveal 1965-1966 Massacres in the
Transitional Period In Indonesia’, paper tidak dipublikasikan (Monash University Law School, Melbourne, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
—————————, ‘Dalam Kasus Orang Hilang Keseriusan dan Keberanian Komnas
HAM dipertanyakan’, Kompas 23 Maret 2005
—————————, ‘Kasus Trisakti Mungkin Dibuka’, Kompas 28 Juni 2005
—————————, ‘Ketua Komnas Ham: Pelanggaran HAM Masa Lalu Ditelantarkan,
Kompas, 2 Mei 2005
—————————, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Tempointeraktif
<http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/05/02/nrs,20040502-02,id.html>
diakses pada 22 Juni 2005
—————————, ‘Korban Penculikan Menuntut’, Kompas 17 Maret 2005
—————————, ‘Motivasi Anggota Dipertanyakan’, Kompas 16 Juli 2005
—————————, ‘Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Elsam
Menolak
Usulan
dari
Faksi
TNI/Polri’,
Kompascybermedia
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/24/Politikhukum/1039111.htm>
diakses pada 24 Mei 2004
—————————, ‘Presiden Ingin Rehabilitasi dan Beri Kompensasi Tapol’, Kompas,
17 Maret 2005
—————————, ‘UU KKR Sarat Kepentingan Politik’, SUAR Vol. 5 No. 08 & 09 Tahun
2005
—————————,‘Korban G30SPKI Gugat Para Presiden’, Legal Review No. 33 Th II
Juni 2005
—————————, ‘Soeharto Harus Ditanyai soal Penculikan Aktivis’, Kompas 16 Mei
2005 hal.6.
—————————,‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM
Janjikan Pertengahan Mei 2005’, Kompas 26 Maret 2005
Adam, Asvi W., ‘Gus Dur, Pahlawan Reformasi’, Kompas 18 Juli 2005
Adam, Asvi W., ‘Reparasi Masa Lalu’, Jawa Pos 18 Juli 2005
Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2003)
Asian Legal Resource Centre, ‘ Attacks on Human Rights Defenders in Indonesia: Written
Statement To The UN Commission on Human Rights 58th Session, 2002’ dalam
Article 2 Vol.1 No.1 Tahun 2002.
Cribb, Robert, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Centre of
Southeast Asian Studies Monash University, Clayton, 1990)
Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia (Cornell University Press, Ithaca,
1978)
Fernando, Basil, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam
Asian Human Rights Commission, Protection and Participation: Human Rights
Approach (AHRC & ALRC Publication, Hong Kong, 2003)
Gofar, Fajrimei A.,’ Angin Segar dari Senayan’, Kompas, 7 Juli 2005
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPR-S/1966
May, Brian, The Indonesian Tragedy (Graham Brash, Singapore, 1978)
Mugiyanto, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Kekhawatiran Korban Pelanggaran
HAM’, SUAR Vol. 5 No. 08 & 09 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.
Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Masal yang Terlupakan
(Jombang-Kediri 1965-1966) (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000)
Taufik, Ahmad, ‘Dari Penjara Ke Penjara’ dalam Politik Pembebasan Tapol (YLBHI,
Jakarta, 1998)
Toer, Pramoedya A., Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Penerbit Lentera, Jakarta, 1995)
Universal Declaration of Human Rights 1948
Wardaya, Manunggal K., Justice For The Victims: The Importance to Reveal The 1965-
1966 Massacres in the Transitional Period in Indonesia, paper tidak dipublikasikan
( Monash University Law School, Melbourne, 2004)
Wignjosoebroto, Soetandyo, ‘Transitional Justice (TJ): Apakah Itu? Dan Perlukah TJ Ini
Direalisasi?’ dalam Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21,
Kumpulan Tulisan Tentang Hak Asasi Manusia (Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Surabaya & The Asia Foundation, Surabaya, 2003)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Politik Pembebasan Tapol Napol (YLBHI, Jakarta,
1998)