Investasi Jabon

INVESTASI JABON

Oleh:

HARI ANGGARA

Assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh.

Melihat perkembangan investasi kayu jabon belakangan ini penulis tertarik untuk membuat tulisan ringkas tentang apa itu kayu jabon, Kenapa Memilih Kayu Jabon, cara penanaman, perawatan serta  prospek investasi kayu jabon kedepannya. Langsung saja kita bahas.

Apa Itu Kayu Jabon?

Jabon adalah sebuah pohon yang tumbuh di wilayah Asia. Pohon ini terdapat di wilayah Asia Selatan hingga Papua Nugini. Di Indonesia, pohon ini juga dikenal sebagai jabun, kelampayan, empayang, atau worotua.

  • Jabon adalah Tanaman Kayu Keras yang cepat tumbuh, Tanaman Jabon termasuk famili Rubiaceae ini tumbuh baik pada ketinggian 0 – 1000 meter dari permukaan laut, pada jenis tanah lempung, podsolik cokelat dan aluvial lembab yang umumnya terdapat di sepanjang sungai yang ber-aerasi baik.
  • Jabon adalah jenis pohon cahaya (light-demander) yang cepat tumbuh. Pada umur 3 tahun tingginya dapat mencapai 9 M dengan diameter (garis tengah ingkar batang) 11 cm. Pada usia antara 5 dan 6 tahun lingkar batangnya bisa mencapai 150 cm (diameter 40 cm sampai 50 cm), diameter pertumbuhan antara 5 cm sampai 10 cm/tahun. Pohon Jabon yang tumbuh dihutan pernah ditemukan mencapai tinggi 45 M dengan diameter lebih dari 100 cm.
  • Bentuk tajuk tanaman jabon seperti payung dengan sistem percabangan melingkar, daunnya tidak lebat, batang lurus silindris dan tidak berbanir dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus.
  • Batangnya bebas cabang sampai 60% dari keseluruhan tinggi batang, cabang rontok sendiri (self purning).Warna kayunya putih krem (kuning terang) sampai sawo kemerah-merahan.
  • Kayunya mudah dikeringkan, mudah dipaku dan di lem, susutnya rendah. Sangat mungkin dimanfaatkan oleh Industri Furniture, Plywood / Kayu Lapis, Batang Korek Api, Alas Sepatu, Papan, Peti, bahan kertas Kelas Sedang.
  • Pohon Jabon usia 6 tahun sudah dapat di panen.

Tentunya Kayu jabon tidak asing lagi bagi kita yang suka bergelut dibidang agro bisnis, Kayu jabon atau Anthocephalus Candaba atau yang biasa dikenal dengan nama Jati Bongsor adalah tanaman kayu yang sangat bagus untuk penghijauan dimana tumbuhan ini pertumbuhanya paling cepat di dunia dibanding dengan tanaman kayu keras yang lainya, bahkan lebih cepat dibanding pertumbuhan kayu Sengon.

Kenapa Memilih Kayu Jabon?

Kayu jabon sangat populer dikalangan industri kayu di Indonesia, dan cocok sebagai bahan baku furniture, kayu lapis, pulp, kertas, dan berbagai industri kayu yang lain. Selain itu permintaan kayu Jabon terus meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan kayu dunia yang semakin melonjak setiap tahunnya, tidak diimbangi dengan suplay kayu yang ada, bahkan kondisi hutan di Indonesia saat ini semakin kritis. Berdasarkan data Indonesia setiap tahun setidaknya membutuhkan 72 juta kubik kayu siap olah dan saat itu baru terpenuhi sekitar 50 juta kubik saja, itupun sebagian besar dari hasil tebang hutan alam di Indonesia. Sedangkan akhir-akhir ini pemerintah sudah melarang keras penebangan hutan alam untuk industri kayu di Indonesia, artinya peluang investasi jabon peluangnya masih sangat besar.

Budidaya Kayu jabon

Beberapa tahun belakangan ini tanaman Jabon tengah naik daun sebagai pujaan Investasi Agribisnis. Kombinasi antara peluang pasar kayunya yang diprediksi akan semakin terbuka dan sifat-sifat yang dimiliki Anthocephalus Cadamba (jabon putih) dan Anthocephalus macrophyllus (jabon merah) mengatrol namanya.

*Sementara tanaman sengon yang selama ini sudah menjadi idola investasi kebun-kebun marjinal yang kurang produktif, dan masuk dalam kategori Fast growing yang ditanam luas oleh masyarakat mendapat masalah cukup berat dengan timbulnya penyakit karat puru yang belum ada obatnya.

Berdasarkan penelusuran dilapangan, ada beberapa alasan menjadikan keunggulan komparatif jabon sebagai pilihan investasi agribisnis tanaman keras. Kecepatan tumbuh yang dimilikinya tentu menjadi alasan utama kenapa jabon menjadi idola.

Tiap tahun, pertambahan diameternya bisa mencapai 5-7 cm. Bahkan dalam pengukuran dilahan sebuah perusahaan di Purworejo dan Banjarnegara, Jawa Tengah, dengan perlakuan Ekstra Intensif, bisa mencapai 10 cm/tahun dan memanen Jabon uji cobanya pada umur 4 tahun.

Kecepatan tumbuh ini bukan karena adanya rekayasa genetik melainkan dikarenakan sifat-sifat alami yang dimiliki tanaman ini. Jadi relatif kestabilan daya tumbuh ini lebih terjaga dalam jangka panjang.

Selain itu, toleransi jabon terhadap lahan dan iklim sangat tinggi. Tanaman Jabon dapat tumbuh subur di lahan dengan Ekologi tumbuh pada :

>  Ketinggian                             :    0 – 1000 m dpl

>  Curah hujan                           :   1250 – 3000 m/th

>  Perkiraan suh                       :    10 – 40 C

>  Kondisi tanah (PH)              :    4,5 – 7,5

>  Topografi datar hingga 25

Keunggulan jabon :

Jabon memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman kayu lainnya, termasuk Albasia (sengon). Dari hasil uji coba yang telah dilakukan, keunggulan tanaman jabon dapat diuraikan dari beberapa criteria :

PERTUMBUHAN

Pertumbuhan kayu jabon sangat cepat bila dibandingkan dengan jenis kayu keras lainya :

  1. Diameter batang dapat tumbuh berkisar 5-7 cm/thn. Bahkan dengan perlakuan Ekstra Intensif diameter bisa mencapai 10 cm/thn
  2. Tinggi batang pada usia 12 thn dapat mencapai 20 m, sehingga pada usia 5 – 7 Sudah dapat dipanen.

BATANG

  1.  Berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus.
  2. Tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok dg sendirinya.

PEMASARAN

Karena jenis kayunya yang berwarna putih agak kekuningan tanpa terlihat seratnya, maka kayu jabon sangat dibutuhkan pada industry kayu lapis (plywood), bahan baku meubel dan furniture, serta bahan bangunan non kontruksi.

Keunggulan inilah yang membuat pemasaran kayu jabon sama sekali tidak mengalami kesulitan, bahkan industry kayu lapis siap untuk membeli setiap saat dalam jumlah yang tidak terbatas.

 

NILAI EKONOMIS 

Budidaya tanaman jabon akan memberikan berbagai keuntungan yang sangat menggiurkan apabila dikerjakan secara serius dan benar. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan pada tanaman jabon setelah dipanen pada usia  6–8 thn ( Asumsi harga terendah dan batang terkecil ) pada setiap batang kayu jabon diperoleh :

ü Tinggi batang yang bisa terjual rata-rata 12 m

ü Diameter batang rata-rata 30 cm.

Maka dari setiap batang kayu jabon menghasilkan kayu yang bisa dijual sebanyak 1,5 kubik, sedangkan harga perkubik saat ini Rp.1.000.000,- Sehingga harga terendah 1 batang  jabon usia 8 – 10 tahun minimal seharga Rp. 1.500.000,-

INFORMASI :

Harga kayu jabon pada tahun 2014

1. Middle 30 – 39      : Rp. 1.000.000,-

2. Middle 40 – 49      : Rp. 1.100.000,-

3. Middle 50 Up        : Rp. 1.200.000,-

Harga ini diprediksi akan mengalami kenaikan seiring dengan tingkat kebutuhan/permintaan yang semakin bertambah setiap tahunnya, sedangkan persediaan kayu semakin lama semakin terbatas.

Dalam 1 Hektar lahan, estimasi jumlah batang yang siap dipanen adalah sebagai berikut :[1]  Jika asumsi harga jual kayu jabon usia 6 – 7 tahun per-batangnya adalah harga yang paling minim di pasaran (skenario pesimis),yaitu katakanlah Rp.1.000.000, per-batangnya, maka dalam 1 Hektarnya kita dapat menghasilkan uang sebesar.

-jarak tanam 4×4 meter = 625 batang pohon x Rp 1.000.000 = Rp 625.000.000
-jarak tanam 3×4 meter = 825 batang pohon x Rp 1.000.000 = Rp 825.000.000
-Jarak Tanam 3×3 Meter=1.000 Batang Pohon X Rp 1.000.000 =Rp 1.000.000.000

Pada awal 2009 harga kayu jabon 850.000/m3 . diperkirakan 5 tahun kemudian (tahun 2014) harga Rp- 1.200.000/m3.

Update Harga kayu jabon per kubik pada tahun 2013 :

 

Bisa di asumsikan bahwa kenaikan harga kayu jabon setiap tahunnya sebesar 7-10%

 

 

CARA BUDIDAYA TANAMAN JABON

Pola hutan rakyat umumnya menggunakan jarak tanam 2 x 2 m, namun hasil pertumbuhan dan perkembangan diameternya tidak begitu cepat dan maksimal. Cara ini biasanya digunakan masyarakat dengan membiarkan tumbuh liar dengan sendirinya, ibarat hutan.

Perkebunan pada umumnya menggunakan jarak tanam yg direkomendasikan yaitu 4x5m. Jarak tersebut dapat memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan diameter batangnya, sebab radius lingkaran bayangan bawah batang atas pohon adalah wilayah penyerapan unsur-unsur hara ditanah oleh akar-akar pohon.

Jadi jarak tanam 4×5 m adalah yang paling baik bagi pertumbuhan, tetapi bisa juga menggunakan jarak 4×4 m tergantung kondisi lahan.

Tanaman jabon dapat tumbuh subur pada tanah Alluvial ( pinggir sungai ), Tanah liat, Tanah lempung, Podsolik coklat, Tanah daerah yang ada pasang surut, Iklim basah dan Tropis.

CARA PENANAMAN

Buat lubang dengan ukuran: lebar 30 cm x panjang 30 cm x kedalaman 40 cm ( untuk ukuran bibit 40 – 50 cm ). Masukan kompos/pupuk kandang kedalam lubang tanam setinggi 10 cm, tambahkan NPK (15–15–15) sebanyak 10 gram/lubang tanam. Bibit jabon bisa langsung ditanam atau dengan cara  diendapkan dahulu 5 – 7 hari. Masukan bibit yang polibagnya sudah dibuka/disobek kedalam lubang tanam. Dudukan yang benar dan rata, lalu isi tanah yang dicampur kompos sebagai penutup akar setinggi 20 cm ( jangan terlalu dipadatkan ), hingga tersisa lubang 10 cm sebagai kantong air.

Catatan : Apabila kompos/pupuk kandang sulit dan mahal, sebagai alternative bisa digantikan dengan PUPUK ORGANIK PADAT (POP) SUPERNASA..dengan dosis 2 gram/lubang.

CARA PEMELIHARAAN

Melakukan penyemprotan pestisida pada daun terhadap serangan ulat. Hal ini dilakukan secara aktif dan rutin dengan interfal 1 atau 2 minggu sekali dalam waktu 4 sampai 6 bulan dimana daun jabon masih sangat sedikit. Ketika daun jabon sudah mempunyai daun banyak   (umur 5 – 6 bulan) maka penyemprotan pestisida tidak diperlukan lagi sebab daun jabon tidak akan habis dimakan ulat untuk mencukupi proses pertumbuhanya.

Sanitasi lingkungan ( penyiangan rumput ) bisa dilakukan 1-2 x  setahun atau kondisional. Meskipun jabon termasuk jenis tanaman yg daya Self Pruningnya ( meranggas sendiri ) sangat tinggi, tetapi pemangkasanpun bisa saja dilakukan apabila cabang-cabang jabon yang ditanam rapat dan saling bersentuhan. Pemangkasan ini menjadi pilihan yang sangat bijak untuk memberikan celah yang lebih lebar akan sinar matahari masuk. Dalam pemangkasan cabang ini tidak perlu dipotong semua sampai pangkal cabang, cukup dipotong kira-kira 1 m dari ujung cabang dan sisanya di biarkan rontok dengan sendirinya.

PEMUPUKAN

Untuk mempercepat pertumbuhan jabon, pemupukan dapat dilakukan minimal sampai tanaman berusia 3 tahun, interval pemupukan setiap 2 atau 3 bulan sekali dengan POP SUPERNASA dan NPK (15-15-15), serta pamupukan lewat daun ( penyemprotan POC NASA + HORMON PERANGSANG TUMBUH ). Dengan perbandingan :

  1. Umur Tanaman 0 – 1 Tahun : Pupuk Tabur / kocor : menggunakan POP SUPERNASA 2 gram / pohon dan NPK (15-15-15) sebanyak 10 gram/pohon. ( interval 2 bulan sekali ) Pupuk Daun : Penyemprotan dengan POC NASA dengan dosis 40 cc dan Hormon Perangsang Pertumbuhan dengan dosis 10 cc per tangki  ( interval 15-30 hari sekali )
  2. Umur Tanaman 1 – 3 tahun : Pupuk Tabur / kocor : menggunakan POP SUPERNASA 2,5 gram / pohon dan NPK (15-15-15) sebanyak 12,5 gram/pohon. ( interval 3 bulan sekali ) Pupuk Daun :  Lakukan penyemprotan seperti no.1. Apabila tanaman sudah tinggi dan tidak terjangkau alat penyemprotan, maka pemupukan lewat daun bisa dihentikan.

Catatan : Untuk hasil pertumbuhan  yang lebih maksimal pemupukan dapat dilakukan hingga tanaman jabon berusia 5 -6 tahun.

HAMA TANAMAN JABON

1.   ULAT ( Plusia sp )

Hama yang sering menyerang tanaman jabon adalah ulat jenis Plusia sp. Hama ini memakan dengan rakus daun jabon. Namun hal tersebut tidak mengancam tanaman jabon.

Tanaman jabon yang hampir gundul akan segera menumbuhkan daun-daunya lagi bahkan pertumbuhan daun-daun baru akan terlihat lebih sehat dan segar. Seandainya serangan hama ini sudah dalam ambang batas kerugian, maka penyemprotan dg pestisida organic/kimia bisa menangkalnya.

2.  KUTU PUTIH .

Hama jenis ini hanya akan menghambat pertumbuhan jabon apabila keberadaanya menutupi seluruh daun tanaman. Populasinya sangat jarang dan belum perlu diwaspadai.

3.  KUMBANG ( Xylosandrus moriqeus ) : menggerek batang

4.  PENGGEREK BATANG ( Endoclita Sericea )

PENYAKIT TANAMAN JABON

Untuk jenis penyakit pada tanaman jabon belum pernah diketemukan, akan tetapi ada beberapa jenis penyakit yang perlu diwaspadai:

  1. Dumping off = lodoh / kaleob adl jamur imperfeck yang di tanah (Rhizoktonia spp, Fusarium spp, Pythium spp)
  2. Busuk Akar Penyebabnya adalah jamur akar merah ( Ganoderma pseudoferuni, Ustulia sp, Roselina sp ).

 

            Prospek budidaya pohon jabon sangat baik. Disamping karena sifatnya yang tidak terlalu membutuhkan banyak perawatan, tetapi memiliki hasil kualitas kayu yang baik (biaya produksi efisien), usaha budidaya tanaman keras ini mendapat angin segar dengan diterbitkannya peraturan pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang HTR (Hutan Tanaman Rakyat), terutama salah satunya adalah HTR Pola mandiri.

Mungkin kita berpikir bahwa sama juga bohong kalau menjelaskan panjang lebar tentang kelebihan dari investasi kayu namun kita sudah sulit atau bahkan tidak bisa menebang kayu dari hutan alam? Jangan khawatir! Ada kabar gembira buat kita, pemerintah telah menerbitkan PP no.6 tahun 2007 yang inti isinya adalah mengenai HTR ( Hutan Tanaman Rakyat), dimana ada HTR pola mandiri dan untuk jenis HTR diberikan kebebasan untuk memilih jenis tanamannya, namun disarankan untuk menanam tanaman dengan umur pendek sekitar 8 tahun dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta mudah dalam pemasarannya.

Sekian dari penulis, terimakasih atas perhatiannya semoga bermanfaat.

Referensi:

file:///E:/My%20Bussiness/Investasi%20Jabon/Artikel/SUPERNASA%20%20budidaya%20tanaman%20pohon%20jabon.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Jabon

http://www.i-gistmalang.com/berapa-harga-kayu-jabon-tahun-2013/

http://www.i-gistmalang.com/harga-jual-jabon-menurut-perhutani-tahun-2013/

http://investasijabon2014.wordpress.com/2013/12/21/peluang-investasi-jabon-2014/

http://www.bisnisjabon.com/

http://www.supernasa.com/2012/12/budidaya-tanaman-pohon-jabon.html

 

Wassalamualikum warohmatullahiwabarokatuh.

Sebuah Renungan untukku, untukmu dan untuk kita semua

Bismillaahirrahmaanirrahiim…..

Aku Dimakamkan Hari Ini

Perlahan, tubuhku ditutup tanah, perlahan, semua pergi meninggalkanku,masih terdengar jelas langkah langkah terakhir mereka…aku sendirian,di tempat gelap yang tak pernah terbayang,sendiri,menunggu keputusan.

Istri,belahan hati,belahan jiwa pun pergi,Anak,yang di tubuhnya darahku mengalir,tak juga tinggal,Apatah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,rekan bisnis atau orang-orang lain,aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih,aku pun demikian,Anakku menangis,tak kalah sedih dan aku juga,Tangan kananku menghibur mereka,kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,tetapi aku tetap sendiri,disini,menunggu perhitungan…

Menyesal sudah tak mungkin,Tobat tak lagi dianggap dan ma’af pun tak bakal didengar, aku benar-benar harus sendiri…

Tuhanku,(entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),jika kau beri aku satu lagi kesempatan,jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu, beberapa hari saja…

Aku harus berkeliling,memohon ma’af pada mereka,yang selama ini telah merasakan zalimku,yang selama ini sengsara karena aku,yang tertindas dalam kuasaku. yang selama ini telah aku sakiti hati nya, yang selama ini telah aku bohongi..

Aku harus kembalikan,semua harta kotor ini,yang kukumpulkan dengan wajah gembira,yang kukuras dari sumber yang tak jelas,yang kumakan, bahkan yang kutelan.Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar dulu..

Ya ALLAH,beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati mereka,maafkan aku ayah dan ibu,mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,beri juga aku waktu,untuk berkumpul dengan istri dan anakku,untuk sungguh sungguh beramal soleh, Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu, bersama mereka…

begitu sesal diri ini karena hari hari telah berlalu tanpa makna.
penuh kesia siaan kesenangan yg pernah kuraih dulu,tak ada artinya sama sekali mengapaku sia sia saja,waktu hidup yg hanya sekali itu andai ku bisa putar ulang waktu itu…

Aku dimakamkan hari ini,dan semua menjadi tak terma’afkan,dan semua menjadi terlambat,dan aku harus sendiri,untuk waktu yang tak terbayangkan…

Sebuah renungan untukku,untukmu,untuk kita semua. Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati yang terkunci.

Sumber: https://www.facebook.com/pages/Strawberry/203846879754531

Proposal Skripsi

TUGAS METODE PENELITIAN HUKUM

“TANGGUNG JAWAB DEBITOR KEPADA KREDITOR DALAM HAL PENGALIHAN HARTA PAILIT”

Dosen : Dr. Siti Anisah S.H., M.Hum.

 Image

Disusun Oleh :

HARI ANGGARA (10410456)

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2013

LATAR BELAKANG MASALAH

            Undang-Undang Kepailitan  Di Indonesia Telah Dua Kali Di Lakukan Penggantianm Pertama Staatblad 1905 Nomor 217 Junto Staatblad 1906 Nomor 348 Yang Berlaku Sampai Dengan Tahun 1998, Kemudian Lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Selanjutnya Di Gantikan Oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Penelitian Terhadap Tanggung Jawab Debitor Kepada Kreditor Dalam Hal Pengalihan Harta Pailit dirasakan penting karena tujuan dari undang undang kepailitan adalah melindungi kepentingan kreditor.

Tujuan kepailitan adalah melindungi kreditor konkuren untuk memperoleh hak-hak nya berkaitan dengan asas yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang berutang (debitor).[1]

Untuk mencegah agar debitor agar tidak melakukan perbuatan curang yang dapat merugikan kepentingan kreditor nya, terdapat beberapa kecurangan yang dapat dilakukan oleh debitor, salah satunya adalah melakukan perbuatan curang dengan cara mengalihkan harta yang sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan kepada pihak ketiga untuk menghindari sebagian harta dari penyitaan yang dilakukan oleh kurator, dan seberapa jauh kreditor dirugikan dalam tindakan tersebut.

berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang sejauh mana tanggung jawab debitor terhadap kreditor yang dirugikan, yang selengkapnya berjudul : “tanggung jawab debitor kepada kreditor dalam hal pengalihan harta pailit”

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

  1. Sejauh mana tanggung jawab debitor terhadap kreditor dalam pengalihan harta pailit yang dilakukan oleh debitor?
  2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh kreditor untuk melindungi kepentingannya?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian

  1. Untuk Mengetahui Sejauh mana tanggung jawab debitor terhadap kreditor dalam pengalihan harta pailit yang dilakukan oleh debitor?
  2. Untuk Mengetahui upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh kreditor untuk melindungi kepentingannya?

MANFAAT PENELITIAN

Mamfaat :

Penelitian ini berguna untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam membangun argumentasi dan menuangkan dalam suatu karya ilmiah. Serta untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat luas tentang “tanggung jawab debitor kepada kreditor dalam hal pengalihan harta pailit “selain itu penelitian ini juga berguna sebagai masukan untuk pengadilan dalam proses kepailitan kedepannya.

TINJAUAN PUSTAKA

            Didalam Disertasi Dr. Siti Anisa S.H.,M.Hum menyebutkan bahwa Dalam praktik penegakan Undang-Undang Kepailitan, ternyata ketentuan actio pauliana belum dapat melindungi kepentingan kreditor dengan beberapa alasan. Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan secara sederhana. Pembuktian actio pauliana berbeda dengan pembuktian sederhana dalam kepailitan. Apabila hal ini diperiksa di Pengadilan Negeri, dapat saja penyelesaian kepailitan menjadi berlarut larut. Padahal, umumnya debitor langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnyayang ada di bank setelah adanya pernyataan pailit, dengan tujuan untuk menghindari pemberesan dana oleh kurator. Khusus untuk harta debitor yang berbentuk badan hukum yang pemilikannya atas nama pribadi tetap dipertahankan atas nama pemegang saham, dan dilakukan perikatan-perikatan tertenru dengan pihak lain secara back date. Transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya penegakan hukum dalam bidang yang berkaitan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Thhun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan.[2]

Jadi sejauh mana tanggung jawab debitor terhadap kreditor yang dirugikan dalam  pengalihan harta pailit tidak bisa di minta tanggung jawab begitu saja karena tidak mudah untuk membuktikan tindakan pengalihan harta kepailitan tersebut.

KERANGKA PEMIKIRAN

Pengertian :

Menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Kepailitan diartikan :

“Sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.”[3]

 

Asas : 

Asas keadilan  untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.[4]

Asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditor atau kreditor-kreditor terhadap transaksinya dengan debitor.[5]

Norma            : Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

METODE PENELITIAN

            Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Doktrinal / Dogmatik atau disebut juga  penelitian yurudis normatif, penelitian yurisdis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan[6]. Penelitian hukum normatif didefenisiskan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, disebut juga penelitian hukum doktrinal / dogmatik yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder.

Obyek             :           Undang-undang Nomor 37 tahun 2004  ( Bahan Hukum Primer )

Dokumen Hukum lain yang berkaitan dengan penelitian ini                                                  ( Bahan Hukum Sekunder ).

Subyek            :           Debitor (Orang yang berkewajiban memenuhi prestasi)

Kreditor (Orang yang berhak dipenuhi prestasi )[7]

Sumber Data   :           Data Sekunder

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi :

  1. Bahan hukum primer yaitu : Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
  1. 2.      Bahan hukum sekunder yaitu : Disertasi Siti Anisa, Pelindungan kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di Indonesia. dan bahan hukum lainnya.

Pendekatan     :           Pendekatan Undang-undang

Analisis Data   :           Analisis data kualitatif, cara pengolahan dan analisisnya secara non-                                    statistik (naratif)

*Dilakukan setelah data penelitian terkumpul secara lengkap dari proses pengumpulan data[8]

KERANGKA SKRIPSI

BAB  1  TENTANG PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan  Penelitian
  4. Mamfaat Penelitian
  5. Tinjauan Pustaka
  6. Kerangka Pemikiran
  7. Metode Penelitian

BAB  II  TENTANG TINAJAUAN UMUM

  1. Pengertian Kreditor dan Debitor
  2. Pengertian Tanggung jawab
  3. Pengertian Pengalihan harta pailit
  4. Upaya Hukum

BAB  III   TENTANG HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  1. Bentuk tanggung jawab debitor
  2. Akibat hukum yang di timbulkan

BAB  IV  TENTANG PENUTUP

  1. Kesimpulan
  2. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA

DR. Rohidin M.Ag Slide Metode_Penelitian_Hukum_Fix

Siti Anisa, Pelindungan kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di Indonesia.

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

KUHPerdata

Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, 1995. penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, radja grafindo persada jakarta

Prof. Drs c.s.t kansil SH  Kamus Istilah aneka hukum.

elearning.uii.ac.id

repository.usu.ac.id

elearning.upnjatim.ac.id


[1] Siti Anisa, Pelindungan kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di indonesia. Pendahuluan halaman 2.

[2] [2] Siti Anisa, Pelindungan kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di indonesia. halaman 204.

[3] Undang-undang No. 37 Tahun 2004

[4] elearning.upnjatim.ac.id/…/HUKUMKEPAILITAN2

[5] repository.usu.ac.id/bitstream/…/3/Chapter%20II.pdf

[6] soerjono soekanto dan sri mamudji, 1995. penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, radja grafindo persada jakarta halaman 23.

[7] Kamus Istilah aneka hukum, Prof Drs c.s.t kansil SH

[8] DR. Rohidin M.Ag Slide Metode_Penelitian_Hukum_Fix Slide Nomer 106

Makalah : PERKAWINAN POLIGAMI

TUGAS MUNAKAHAH

PERKAWINAN POLIGAMI  

image003

Disusun Oleh :

HARI ANGGARA (10410456)

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

 

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Ada beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan yang dianggap oleh beberapa kalangan mengukuhkan subordinasi perempuan, yaitu Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, kesemua pasal itu tentang kebolehan poligami (yang lebih jelasnya akan kita urai sesuai dengan topik bahasan), serta Pasal 31 ayat (3) bahwa suami kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Atau, Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. (Untuk Pasal 31 dan pasal 2 kita kesampingkan agar fokus ke pasal 3,4 & 5).

Masalah poligami yang timbul dari politik hukum (legal policy) waktu proses pembentukan UUP, dalam dasawarsa terakhir sangat menarik untuk kita cermati sekaligus kita ulas, adanya pasal tentang pembolehan poligami bagi seorang suami yang ada pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ternyata membawa reaksi beragam, respon yang nyata sampai sekarang paling tidak sudah ada tiga versi draf usulan perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Korps Wanita Indonesia (KOWANI), dan yang terakhir milik LBH-APIK.

Dua draf pertama sudah ada sejak awal tahun 2000. Draf milik Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sudah dipersiapkan sejak menterinya dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa, sedangkan, draf milik KOWANI kabarnya sudah ada sejak akhir tahun 90 an. Kabar terakhir, draf yang disusun KOWANI telah masuk ke Senayan lewat jalur Badan Legislasi DPR.

Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang berseberangan dengan kubu yang menghendaki perubahan Undang-undang Perkawinan. Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan salah satu institusi yang secara tegas menolak adanya amandemen terhadap Undang-undang Perkawinan. MUI menganggap Undang-undang Perkawinan yang telah ada, tidak perlu lagi dilakukan revisi, baik pasal ataupun ayatnya, termasuk didalamnya tentang kebolehan poligami bagi laki-laki (yang tentunya dengan persyaratan yang ketat). MUI menganggap bahwa mereka yang menghendaki revisi hanya berdalih UUP telah mendiskriminasikan perempuan sebagai alasan utama, padahal sama sekali tidak demikian adanya, UUP sejatinya telah mengakomodir kebutuhan konstitusi Negara Indonesia yang notabene mayoritas dihuni oleh umat muslim, maka kebolehan Poligami dalam Al-qur’an patut kiranya dan seyogyanya menjadi keharusan di beck up oleh perundang-undangan.

Pandangan berbagai usulan mengenai perubahan UUP agaknya tidak lepas dari panjang dan beratnya pembahasan RUU Perkawinan di DPR 34 tahun silam, pembahasan RUU Perkawinan di DPR kala itu menjadi polemik yang panas di berbagai media massa. Panasnya polemik yang berkembang di tengah pembahasan RUU Perkawinan di penghujung 1973 tercermin dalam salah satu artikel yang ditulis oleh alm. Prof. Dr. Mr Hazairin, pakar hukum Islam dan hukum adat. Dalam artikel “Beberapa Komentar atas RUU Perkawinan” yang dimuat di Harian KAMI pada tanggal 18 September 1973, Hazairin mengingatkan para anggota DPR untuk berhati-hati dalam membahas RUU tersebut, khususnya terkait soal ketentuan tentang masa iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Berikut petikannya: “Anggota-anggota DPR yang beragama Islam dan sekarang menghadapi Rancangan Undang-undang Perkawinan yang mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Qur’an seperti dengan Q.9 : 37 itu dan menerima baik pelanggaran yang besar itu, samalah dengan menjadikan dirinya sebagai orang-orang yang mengabaikan imannya dan taqwanya kepada Allah, dengan dan karena mengubah atau menyelewengkan (tujuan dan maksud) ayat-ayat Qur-an. Maka sekurang-kurangnya akan menjadi fasik! Lihat Q.33 : 36 dan sanctumnya Q.4 : 14…”.

Setelah melalui pembahasan yang cukup alot, DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, Dan Undang-Undang tersebut masih berlaku sampai sekarang tanpa adanya perubahan, termasuk pasal yang membahas poligami yang sekarang ini banyak pro dan kontra dalam pelaksanannya, inilah tonggak besar yang terjadi dalam politik hukum (legal policy) di bumi Indonesia, poligami yang notabene dibolehkan dalam Al-Qur’an yang di follow up oleh Undang-unadang Perkawinan adalam merupakan kemenangan umat Islam, walau ada reaksi keras dari berbagai kalangan, toh Undang-undang Perkawinan tersebut masih eksis hingga kini.

PERMASALAHAN

            Masalah pro kontra poligami ini adalah masalah yang sangat menarik, oleh karenanya perlu untuk dikaji lebih lanjut pembahasan tersebut, maka menurut hemat penulis ada beberapa poin yang layak untuk dijadikan bahan pemikiran, yaitu :

  1. Bagaimana bunyi pasal tentang poligami dalam UUP dan secara singkat bagaimana proses peradilannya di Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin poligami terhadap perkara yang diajukan ?
  2. Bagaimanakah dengan isu diskriminasi terhadap wanita oleh sebagian kalangan yang kontra terhadap pembolehan poligami melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ?
  3. Bagaimana pro dan konta terhadap Poligami ?

PEMBAHASAN

POLIGAMI MENURUT ISLAM

Perkawinan adalah jembatan bagi pasangan suami dan isteri untuk meraih ketenangan, cinta dan kasih sayang maka poligami juga bertujuan untuk itu. Sebagaimana yang disinggung oleh ayat al-Qur’an:

“Allah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri; supaya kalian merasakan ketenangan dan menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang; sesugguhnya yang demikian ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”.

Dua tujuan perkawinan yang telah disebutkan di atas mewakili tujuan-tujuan yang sifatnya non materi. Sedangkan tujuan perkawinan seseorang yang sifatnya materi yang dimensi, berbanding searah dengan jumlah yang melakukannya.

Perkawinan juga merupakan sarana untuk mengendalikan dan menyalurkan kebutuhan seks. Perkawinan dapat mencegah perzinahan. Imam Shadiq a.s berkata,“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat azabnya pada hari kiamat adalah yang meletakkan nutfahnya dalam rahim yang haram baginya (zina)”. Sebagaimana perkawinan adalah sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan banyak masalah sosial, poligami juga demikian.

Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.

Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang, bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat tiga surat an-Nisa’, ‘…Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ….”.

Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim yang setelah ditinggal ayahnya, ia masih harus menerima perlakuan tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya tetapi malah sebaliknya. Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan tadi. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat Ilahi yang perlu dijaga dan tidak boleh dibiarkan rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat Ilahi dengan lebih baik.

Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami, sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi di kemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan penting. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri kempat. Namun yang paling berperan adalah sang suami.

Berbicara mengenai penerapan poligami dapat ditinjau dari berbagai sudut, namun dengan tidak melupakan tiga syarat di atas. Tanpa mengindahkan ketiga syarat di atas, memang seseorang masih saja dapat melakukan poligami. Hal itu dikarenakan tidak adanya teks-teks agama yang mengharamkannya. Namun, hal itu akan memiliki dampak negatif yang luas:

Pertama, orang akan memandang Islam mensyariatkan sesuatu yang malah memiliki akibat berbeda dari yang diinginkan. Inginnya memberi petunjuk namun malah membuat banyak orang memandang negatif kepadanya. Kedua, wanita-wanita yang menjadi “korban” poligami akhirnya membenci aturan syariat agama.

Kedua hal inilah yang paling mendasar bagi mereka yang tidak meyakini atau sekurang-kurangnya tidak menerima hukum poligami. Benar, yang menanggungnya kedua-duanya adalah wanita. Akhirnya, poligami bukan hanya tidak memiliki tujuan-tujuan mulia bahkan isinya, kata sebagian orang, hanya dehumanisasi wanita.

Satu hal yang sering terlupakan adalah penerapan yang akhirnya menimbulkan dampak negatif ini (baca: salah) disikapi sebagai pandangan Islam juga. Padahal, penerapan yang ada biasanya hanya mengambil halalnya saja, sementara syarat-syarat dan aturan-aturannya tidak pernah diperhatikan. Lebih dari itu, sebenarnya penerapan poligami lebih didominasi oleh budaya masyarakat setempat. Islam memiliki tuntunan-tuntunan berkaitan dengan poligami dan tidak hanya tiga syarat penting di atas. Namun ini tidak pernah diperhatikan dengan baik oleh mereka yang akan melakukan poligami. Dan di sisi lain, terdapat kelemahan ulama dalam mensosialisasikan masalah ini kepada masyarakat. Akan tetapi, ini bukan menjadi bukti bahwa penyelewengan yang dilakukan atas nama poligami semuanya bersumber dari Islam.

POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG

Bagaimana bunyi pasal tentang poligami dalam UUP ? berikut ini bunyi pasal-pasal tentang poligami yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat 2 : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 ayat 1 : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal 4 ayat 2 : Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a). Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b).Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5. ayat 1 : Untuk dapat         mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a). adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isteri, b). adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c). adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka. Pasal 5. ayat 2 : Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf (a) pasal ini tidak diperlakukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari iasterinya sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan

Kemudian untuk menjawab secara singkat bagaimana proses peradilannya di Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin poligami terhadap perkara yang diajukan, pada asasnya Pengadilan Agama bersifat pasif, maka ketika ada pengajuan izin poligami dari seorang laki-laki, maka pengadilan akan memproses dengan menerima pendaftaran lalu memanggil para pihak, yaitu sang pemohon, kemudian isteri pertama (isteri-isterinya) pemohon dan bakal calon isteri yang akan dikawini, serta dua saksi yang akan semuanya akan dihadirkan dalam persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum. Hakim pengadilan akan melihat kenyataan yang ada apakah memang sesuai dengan apa yang ia mohonkan, dan apakah permohonan itu beralasan kuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jika memang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ada dalam UUP maka hakim akan mengabulkan permohonannya, akan tetapi jika tidak, maka hakim dapat pula menolak dengan tegas.

Demikian halnya pada pengadilan agama Jombang sebagai instansi tempat penulis bekerja juga selalu demikian selektif dalam menetapkan mengabulkan ataupun menetapkan menolak permohonan pemohon didasrkan pada fakta-fakta yang terungkap pada persidangan.

PRO KONTRA POLIGAMI

Bagaimana pro kontra terhadap poligami ? Masalah poligami memang menjadi salah satu titik sentral kritik kaum feminis terhadap Undang-undang Perkawinan. Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Perempuan, berpendapat bahwa poligami adalah tindak kekerasan dan mengakibatkan ketidakadilan tidak saja bagi perempuan, namun juga bagi anak-anak. Nursyahbani menilai para pelaku poligami telah membelokkan makna ayat-ayat suci sesuai dengan kepentingannya sebagi pembenaran atas kesewenangan pemenuhan nafsu seksualnya.

“Tidak ada satupun alasan yang cukup untuk membiarkan poligami di negeri ini. Bahkan ketika para pelaku poligami, menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas tindakannya, kenyataan menunjukkan bahwa mereka hanya mengedepankan nafsu belaka” jelasnya tegas. Sementara, fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktek poligami menunjukkan  bahwa dari ratusan kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2004 sampai Juli 2008 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas. Poligami sebenarnya masih menjadi perdebatan alot di kalangan agamawan sendiri, khususnya di lingkungan Islam. Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU, misalnya. Ia berpendapat bahwa poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I UUP tentang dasar perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar’iyah. Menurutnya bahwa “Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya,”

Sebaliknya, ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menyatakan bahwa poligami telah sesuai dengan syariat Islam. Menurutnya, hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak isteri untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’ yaitu ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap isterinya, “… yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak mu’asyarah bi al-ma’ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 19” tegasnya.

Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami merupakan pengecualian dari asas perkawinan yang monogami. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dipenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan. Terkait syarat-syarat poligami, Penulis kiranya lebih cenderung mengikuti pendapat dari Hazairin atas dasar penafsiran terhadap al-Quran IV ayat 3 dan al-Quran IV ayat 127. “Prof. Hazairin menafsirkan kalau yang dipoligami itu bukan gadis, tapi janda yang punya anak yatim, bukan gadis, dan bukan anak yatimnya, tetapi ibu dari anak yatim yang perlu untuk dinikahi.

Namun walau demikian kita perlu membandingkan antara hukum perkawinan kita dengan hukum perkawinan di negara Mesir, dimana di Mesir karena kehati-hatiannya, khawatir kontra produktif dengan Al-Qur’an yang membolehkan Poligami, maka di Negara ini membolehkan poligami bagi laki-laki walau tanpa izin dari isteri pertama, dengan pembatasan empat isteri, namun bagi isteri yang dirugikan (tidak diberi hak-haknya sebagai seprang isteri oleh suami dapat mengajukan/mengadukan ke pengadilan).

Cara memberikan hukum pada praktek poligami tidak jauh berbeda dari praktek pada pernikahan yang ada. Dengan kata lain, hukum poligami bisa menjadi wajib, jika seseorang mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada jurang perselingkuhan, jika tidak berpoligami. Sebaliknya, poligami dapat juga berubah hukum menjadi haram, jika pelaku poligami dalam prakteknya mempunyai skenario jahat yang akan merugikan pihak istri pertama atau calon istri kedua secara khusus, serta keluarga dan masyarakat  pada umumnya. Di sinilah fungsi ahlul ilmi (ulama) untuk mendudukkan permasalah poligami ini sesuai pada porsinya. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa praktek poligami yang terjadi di masyarakat dewasa ini justru tidak membawa dampak yang positif baik bagi pelaku, masyarakat ataupun lebih-lebih agama islam itu sendiri. Pelaksaan poligami yang kurang tepat justru akan mengakibatkan penodaan secara tidak sengaja pada agama islam ini.

KESIMPULAN

  1. Mencermati paparan diatas, dalam masalah poligami sebenarnya sangat sulit dilakukan jika sesuai dengan UUP, karena sebenarnya UUP tetap menganut asas monogami, maka penulis pribadi cenderung untuk mempertahankan Undang-undang Perkawinan yang masih berlaku hingga kini.
  2. Penulis memandang, para pengusul revisi hanya memandang perkawinan dari sudut persamaan gender, diskriminasi, bukan juga berdasar dari kaca mata agama.
  3. Apapun pendirian yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, yaitu yang pro poligami dan yang anti poligami semuanya layak untuk dihargai. Dalam Islam pun dikenal bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) di tengah-tengah masyarakat merupakan tanda kasih sayang Tuhan. Jika harus berbenturan dalam forum diskusi, utarakanlah argumen-argumen yang mendukung, dengan memakai etika diskusi ilmiah sebagai seorang yang menghargai perbedaan. Dan karena ini adalah negara hukum, yang semuanya berdiri diatas konstitusi, maka Undang-undang Perkawinan yang saat ini masih berlaku, wajib untuk dihormati dan dijunjung semua orang, sampai kelak ada undang-undang lain yang menggantikannya.

Makalah : HAM Dalam Islam

MAKALAH HUKUM HAK ASASI MANUSIA

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

image003

DISUSUN OLEH:

HARI ANGGARA

10410456

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara (kontras, 2004;160).
Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.
Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM.
Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari itu makalah ini akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam.

RUMUSAN MASALAH

Beberapa yang menjadi topik sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas adalah:
1.2.1 Apakah islam itu?
1.2.2 Apakah ham itu?
1.2.3 Adakah ham dalam islam
1.2.4 Seperti apa bentuk ham dalam Islam?
1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Setiap kegiatan yang dilakukan scara sistematis pasti mempunyai tujuan yang diharapkan, begitu pula makalah ini. Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.3.1 Mengetahui apakah Islam itu
1.3.2 Mengetahui apakah HAM itu
1.3.3 Mengetahui apakah ada HAM dalam Islam
1.3.4 Mengetahui bentuk HAM dalam Islam

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Apakah Islam Itu?
Apakah islam itu sebenarnya? Kata Islam berasal dari bahasa arab , dari kata aslama, yuslimu islaman yang berarti menyerah patuh (DR Zainuddin Nainggolan, 2000;9). Menurut Nurcholish Madjid yang dikutip dari buku Junaidi Idrus (2004;87) Islam itu adalah sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan merupakan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah Al-Islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan. Dan bagi orang yang pasrah kepada Tuhan adalah muslim.
Menurut Masdar F. Mas’udi (1993;29) klaim kepasrahan dalam pengertian Islam termaktub dalam tiga tataran. Pertama, Islam sebagai aqidah, yaitu sebagai komitmen nurani untuk pasrah kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai syari’ah, yakni ajaran mengenai bagaimana kepasrahan itu dipahami. Ketika, Islam sebagai akhlak, yakni suatu wujud perilaku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi diri personalnya maupun dalam dimensi sosial kolektifnya. Berangkat dari pengertian diatas Islam adalah agama yang mengajarkan seseorang untuk menyerah pasrah kepada aturan Allah (Sunnatullah) baik tertulis maupun tidak tertulis. Dan orang yang menyerah pasrah kepada Tuhan dan hukum-Nya disebut seorang muslim.
Dalam Islam itu terdapat dua kelompok sumber ajaran Islam. Kelompok pertama disebut ajaran dasar (qat’I al-dalalah), yaitu Al-Qur’an dan Hadist sebagai dua pilar utama ajaran Islam. Al-Qur’an mengandung 6236 ayat dan dari ayat-ayat itu, menurut para ulama hanya 500 ayat yang mengandung ajaran mengenai dunia dan akhirat selebihnya merupakan bagian terbesar mengandung penjelasan tentang para nabi, rasul, kitab dan ajaran moral maupun sejarah ummat terdahulu. Kelompok kedua disebut ajaran bukan dasar (zhanni al-dalalah), yaitu ajaran yang merupakan produk ulama yang melakukan ijtihad dan muatan ajarannya bersifat relative, nisbi, bisa berubah dan tidak harus dipandang suci, sakaral ataupun mengikat (Junaidi Idrus, 2004;95-96).
2.2 Apakah Hak Asasi Manusia?
Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Disini tonggak deklarasi universal mengenai hak asasi manusia yang mengakui hak setiap orang diseluruh dunia. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal, nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang.
Sejarah awal hak asasi manusia di barat berkembang sejak tahun 1215 yaitu dalam Magna Charta yang berisi aturan mengenai tindakan dan kebijakan negara supaya tidak berjalan sewenang-wenang. Isi dari Magna Charta ialah bermaksud untuk mengurangi kekuasan penguasa. Usaha untuk diadakannya Magna Charta ini dimulai dari perjuangan tuan tanah dan gereja untuk membatasi kekuasaan raja dan para anggota keluarga. Pada periode awal ini hubungan antara isi dasar HAM adalah mengenai (hubungan) antara anggota masyarakat yang berada dibawaha kekuasaan yang diatur kebendaanya.
Sekelompok tuan tanah dan ksatria menggalang kekuatan dan mereka berhasil mendesak raja untuk tidak lagi memberlakukan tindakan penahan, penghukuman dan perampasan benda benda secara sewenag-wenang. Raja Jhon terpaksa menyetujui tuntutan ini dengan memberikan cap pengesahan yang berlangsung pada juni 1215 di Runnymede, sebuah padang rumput di pinggir sungai Thames. Isi dari Magna Charta ini ada tiga. Pertama, raja dilarang menarik pajak sewenang wenang. Kedua, pejabat pemerintah dilarang mengambil jagung dengan tanpa membayar. Dan yang ketiga, tidak seorang pun dapat dipenjara tanpa saksi yang jelas. Pengesahan ini menjadi dokumen tertulis yang pertama tentang hak-hak tuan tanah, gereja, ksatria dan orang merdeka atau orang sipil yang belum menikmati kebebasan.
Berlanjut setelah keberhasilan tuan tanah, bangsawan dan orang merdeka untuk memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan raja membangkitkan kesadaran diberbagai kalangan masyarakat terhadap pentingnya hak-hak untuk dihormati dan dilindungi. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka kepada raja. Mereka mencetuskan Petition Of Right. Yang menuntut sebuah negara yang konstitusional, termasuk didalamnya fungsi parlemen dan fungsi pengadilan. Jhon locke (1632-1704) bersama lord Ashley merumuskan tuntutan bagi toleransi beragama. Selain itu, juga menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak data dicabut seperti hak untuk hidup, kemerdekaan hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan.
Salah satu karya Locke yang terkenal ialah second treaties on civil government yang berisi mengenai negara atau pemerintah harus berfungsi untuk melindungi hak milik pribadi. Pemerintah dibentuk guna menjamin kehidupan, harta benda dan kesejahteraan rakyat. Gagasan locke ini sesuai dengan perkembangan didalam masyarakat inggris yang mulai berubah dari nehgara kerajaan yang absolut menuju kerajaan yang konstitusional.
Pada 1653 instrument of government berhasil didesakkan. Pembatasan kekuasaan raja semakin dikukuhkan dengan lahirnya Habeas Corpus Act pada Mei 1679. Lonceng kebebasan terus berdentang dan pada 16 desember 1689 Bill Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil membebaskan diri dari kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk parlemen yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan raja. Itulah sekilas sejarah awal dari HAM yang berkembang di barat khususnya yang berkembang diwilayah Inggris.
Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara local.
Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi Prancis, yakni persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi latar belakang kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia diwilayahnya berbeda-beda. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Keanekaragam kebangsaan dan suku bangsa atau etnisitas. Kenekaragaman agama juga merupakan sesuatu hal yang mendapat tempat dalam sifat non-diskriminasi ini. Pembatasan sesorang dalam beragama merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini diimaksudkan agar hukum tidak memihak pada suatu golongan. Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak meihak pada salah satu pihak. Pemihakan hanyalah pada norma-norma ham itu sendiri.
Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya.
Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).
Hak yang terkandung dalam hak sipil dan politik ada dua puluh dua hak. Pertama hak atas kehidupan, karena hidup seseorang harus dilindungi. Kedua hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara keji. Karena setiap orang berhak untuk memperoleh perlakuan secara manusiawi dan tidak merendahkan martabat. Ketiga, hak untuk tidak dperbudak dan dipekerjakan secara paksa. Keempat, hak atas kebebasan dan keselamatan pribadi. Kelima, hak setiap orang yang ditahan untuk diperlakukan secara manusiawi. Keenam, hak setiap orang untuk tidak dipenjara akibat tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak. Ketidakmampuan sesorang dalam memenuhi suatu perjanjian kontrak, tidak boleh dipenjara. Hanya boleh melalui hukum perdata hanya melalui penyitaan. Ketujuh, hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal. Kedelapan hak setiap warga asing. Kesembilan, hak atas pengadilan yang berwenang, independen dan tidak memihak. Kesepuluh, hak atas perlindungan dari kesewenangan hukum pidana. Kesebelas, hak atas perlakuan yang sama didepan hukum. Keduabelas, hak atas urusan pribadi. Ketigabelas, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Keempatbelas, hak berpendapat dan berekspresi. Kelimabelas, hak atas kebeasan berkumpul. Keenambelas, hak atas kebebasan berserikat. Ketujuh belas, hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Kedelapanbelas, hak anak atas perlindungan bagi perkembangannya. Kesembilanbelas, hak untuk berpartisipasi dalam politik. Keduapuluh, hak atas kedudukan dan perlindungan yang sama didepan hukum. Keduapuluhsatu, hak bagi golongan minoritas. Keduapuluhdua, larangan propaganda perang dan diskriminasi.
Selain hak hak sipil dan politik diatas hak asasi manusia juga mencakup hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini termasuk dalam pembagan hak positif yang mengusahakan peran negara secara maksimal dalam pemenuhannya. Adanya hak ini dalam HAM universal adalah buah dari perdebatan blok sosialis eropa timur dengan blok liberal. Karena blok sosialis lebih berpegangan pada ekonomi sebagai dasar masyarakat. Kebijakan negara sosialis lebih menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti pendidikan gratis. Sedangkan masyarakat blok liberal lebih menekankan manusia sebagai individu yang bebas. Namun, akhirnya usulan dari blok sosialis diterima. Sehingga HAM universal menganjurkan melindungi dan memnuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya setiap warganya.
Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut.
Pertama, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, hak atas pekerjaan. Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, peluang karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok kerja bagi buruh. Kelima, hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan keluarga termasuk ibu dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak, yakni sandang, pangan dan perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatandan lingkungan yang sehat. Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan.
Itulah sekilas gambaran singkat mengenai HAM internasional. Dari mulai sejarah awal Magna Charta sampai ke isi dari HAM internasional yang dibagi atas dua pokok garis besar yaitu hak positif dan hak negatif. Kedua hak itu didasarkan atas partisipasi negara dalam pemenuhannya.
2.3 Adakah HAM dalam Islam?
Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi (Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah (Azra).
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka wacana signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).
Berdasarkan temuan diatas akan kita coba mencari kesamaan atau kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam. Akan kita coba membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak positif. Dalam hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian kebebasan kepada setiap individu dalam pemenuhannya.
Yang pertama adalah hak negatif yaitu memberikan kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Bebrapa yang dapat kita ambil sebagai contoh yaitu:
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. Islam menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Hak ini terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 63 yang berbunyi :
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keternagan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantar amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS 5;63)
Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman yang sewenarg wenang. yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18 yang masing masing berbunyi :
Katakanlah: “Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS 6;164)
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika sesorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali(mu). (QS 35;18)
Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi seperti ini:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS 49;6)
Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani. Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46 yang berbunyi:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2;256)
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS 29;46)
Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13:
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciotakan dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4;1)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4;135)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49;13)
Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang yang beruntung. (QS 3;104)
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3;105)
Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes pemerintahan yang zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat 148, surat Al Maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110 yang masing masing berbunyi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 4;148)
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa Putera Maryam. Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS 5;78)
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS 5;79)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS 7;165)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka yang ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS 3;110)
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini.
Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 2;29)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS 51;19)
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS 62;10)
Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang masing-masing berbunyi berbunyi:
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10;101)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:berdirilah kamu, maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58;11)
(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik keimpulan berdasarkan beberapa analisis. Dari analisis diatas antara HAM yang berkembang di dunia internasional tidak bertentangan antara satu sama lain. Bahkan organisasi Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.
Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh adanya piagam madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dalam dokumen itu dapat disimpulkan bahwa HAM sudah pernah ditegakkan oleh Islam
Berdasar analisis diatas Islam mengandung pengaturan mengenai HAM secara tersirat. Dapat kita bagi menjadi sembilan bagian hak asasi manusia dalam islam yang pengaturannya secara tersirat.
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. surah Al-Maidah ayat 63. Hak untuk mendapat pelindungan dari hukuman yang sewenag wenang yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18. Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat ayat 6. Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46. Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13. Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105. Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tirani secara tersirat dapat dilihat pada surat an-nisa ayat 148, surat al maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, surat Ali Imran ayat 110.
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan budaya Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini. Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumu’ah ayat 10. Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an
2. Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004
3. Radjab, Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, Jakarta: PBHI, 2002
4. Idrus, Junaidi, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia, Jogjakarta: LOGUNG PUSTAKA, 2004
5. Pramudya, Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia 2004
6. Nainggolan, Zainuddin S., Inilah Islam, Jakarta: DEA, 2000
7. Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2004

Al- Hadist tentang Pendosa

pendosa2

 

“Sungguh, ketika seorang mukmin melakukan satu dosa, maka satu titik hitam akan ditorehkan di hatinya, namun apabila ia bertaubat, menarik diri dari perbuatan itu dan meminta ampun, maka hatinya akan dibersihkan kembali. Tetapi sebaliknya, jika semakin sering dia melakukan dosa, maka titik hitam tersebut akan semakin bertambah hingga akan semakin hitam…. (HR Tirmizi, No.3334)

 

Semoga Bermanfaat Sahabat

Analisa Kasus Pajak PT Asian Agri Group

Analisa Kasus Penggelapan Pajak Yang Dilakukan Oleh PT Asian  Agri Group

Dosen : Dr. Winahyu Erwiningsih S.H., M.Hum. Cn.

 

 

 

image003 

 

 

 

Disusun Oleh :

  1. 1.    Rian Samudra       (10410415)
  2. 2.    Hari Anggara        (10410456)

 

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2012

LATAR BELAKANG

Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar Negara, disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak  maupun menggali sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.

Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya. namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini kami akan membahas mengenai salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian  Agri Group yang telah terungkap namun belum jelas mengenai tuntutan hukum dan proses peradilan bagi tersangkanya.

RUMUSAN MASALAH

  1. Siapakah Pemilik dari PT.Asian Agri Group ?
  2. Berapakah Kerugian Negara yang di Derita Akibat dari Penggelapan Pajak yang dilakukan Oleh PT Asian Agri Group ?
  3. Bagaimana Awal Mula Kasus Penggelapan Pajak yang dilakukan Oleh PT Asian  Agri Group hingga  Bisa  Terbongkar dan Diketahui Oleh Negara ?
  4. Jenis Pajak Apa Sajakah yang di Gelapkan Oleh PT.Asian Agri Group ?
  5. Mengapa Perlindungan Saksi Menjadi Permasalahan yang lemah dalam kasus PT.Asian Agri Group ?
  6. Apa yang dimaksud dengan penyelesaian kasus Pajak  PT.Asian Agri Group Melalui Celah Keluar Pengadilan ?

PEMBAHASAN

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.

Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.

Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.

Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.

Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.

Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?

PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.

Celah Keluar dari Pengadilan

Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.

Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak

Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).

Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).

Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.

Berujung di Pengadilan

Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hukum.

KESIMPULAN

Analisis Kasus Asian Agri adalah sebagai cermin sempurna bagi penegak hukum kita. Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah. Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka. Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa diselamatkan. Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai. Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil “penghematan” pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Media Online

PROPOSAL SKRIPSI

PROPOSAL SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DALAM PROGRAM JAMSOSTEK SERTA FUNGSI DAN PERAN JAMSOSTEK SEBAGAI PENJAMIN KESELAMATAN TENAGA KERJA DI KOTA JAMBI

image003

DISUSUN OLEH:

HARI ANGGARA

10410456

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

LATAR BELAKANG MASALAH

 

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat  hakiki yang dimaksud  adalah suatu sifat tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat sehingga dengan demikian tidak adanya rasa kepastian terhadap sesuatu. Karena tidak adanya suatu kepastian, tentu saja akhirnya sampai pada suatu keadaan yang tidak pasti pula. Keadaan tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari, keadaan tidak pasti terhadap suatu kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai resiko.

Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharakan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian.

Majunya suatu Negara diikuti dengan majunya masyarakat yang terdapat dalam Negara tersebut, dimana mereka membangun perusahaan-perusahaan dan institusi yang berkembang. Dalam pelaksanaan pembangunan, tenaga kerja mempunyai peran dan arti yang penting sebagai suatu unsur penunjang untuk berhasilnya pembangunan nasional. Kita menyadari dalam perusahaan atau institusi, tenaga kerja merupakan motor penggerak dari perusahaan, partner kerja dari pengusaha, asset perusahaan yang merupakan investasi bagi suatu perusahaan dalam meningkatkan produktivitas kerja. Sehingga sewajarnya apabila kepada mereka diberikan perlindungan  karena tenaga kerja merupakan asset yang terpenting dalam upaya meningkatkan volume pembangunan.

Oleh sebab itu penanganan ketenagakerjaan harus dilakukan dengan serius dan menyeluruh, maka jaminan kesejahteraan terhadap buruh dan karyawan adalah merupakan kewajiban yang harus disesuaikan dengan kebutuhan. Bila kita lihat Negara kita Indonesia sebagai salah satu Negara yang sedang berkembang, dalam mengisi pembangunan tidak terlepas mempergunakan teknologi modern disemua sektor usaha, mulai dari yang berpola sederhana sampai pada penggunaan teknologi canggih. Semuanya merupakan pekerjaan yang tidak terlepas dari resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan tenaga kerja.

Hubungan kerja antara majikan dengan pekerja, terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Sebelumnya sebelum keluarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan peraturan yang berlaku adalah Pasal 1601 a Bab 7A KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu buruh (pekerja) mengikatkan diri untuk dibawahi pimpinan pihak lain (majikan), untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.

Kondisi buruh di kota-kota besar di Indonesia hampir sama dengan kondisi buruh yang ada di Jambi, khususnya di Kota Jambi, sama-sama mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya tekanan dalam sisi pengupahan. Hal itu diakibatkan oleh standar umum kebijakan pengupahan dari pemerintah yang tidak pernah mempertimbangkan kebutuhan dan produktivitas buruh yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir regulasi kebijakan perburuhan telah memasukkan karakteristik lokal (Kabupaten/Kota) dalam proses perumusan dan penetapan upah, namun realitas upah yang berjalan sangat jauh dari kelayakan yang diharapkan oleh buruh.

Dengan upah yang begitu minim sehingga tidak menjamin tenaga kerja untuk mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak maka disinilah ada peran pihak ketiga yang menanggung segala biaya yang ditimbulkan jika tenaga kerja mengalami hal demikian. Pihak ketiga yang dimaksud adalah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut JAMSOSTEK). JAMSOSTEK mengakomodasi kepentingan pengusaha dan kebutuhan tenaga kerja.

Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, undang-undang mengatur penyelenggaraan JAMSOSTEK sebagai perwujudan pertanggungan sosial. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK. Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti atau seluruh penghasilan yang hilang.

PT. Jamsostek (Persero) yang ditunjuk sebagai satu-satunya badan penyelenggara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, bertekad untuk selalu menjadi badan penyelenggara yang siap, handal, dan terpercaya di Indonesia. Berkaitan dengan fungsi pemasaran ini, PT. Jamsostek (Persero) Kantor Wilayah I melakukan strategi pemasaran yang berorientasi pada pelanggan. Hal ini dilakukan dengan sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat. Sasaran ke setiap elemen masyarakat ini mempunyai dasar pemikiran bahwa membahagiakan atau memuaskan pelanggan atau peserta sangat menentukan keberhasilan. Secara khusus menurut pengamatan peneliti di Kota Jambi, pelaksanaan Program JAMSOSTEK belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Karena masih ada konsumen pengguna Program JAMSOSTEK yang merasa kurang puas dengan pelaksanaan program tersebut.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang fungsi dan peran program JAMSOSTEK ini di kota Jambi, yang selengkapnya berjudul :

“PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DALAM PROGRAM JAMSOSTEK SERTA FUNGSI DAN PERAN JAMSOSTEK SEBAGAI PENJAMIN KESELAMATAN TENAGA KERJA DI KOTA JAMBI

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana Pelaksanaan Program JAMSOSTEK dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Jambi?
  2. Apa saja kendala yang dihadapi PT. JAMSOSTEK dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Jambi?

TUJUAN PENELITIAN

  1. Untuk mengetahui Pelaksanaan Program JAMSOSTEK dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Jambi
  2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi PT. JAMSOSTEK dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Jambi

TINJAUAN PUSTAKA

Pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia bersumber pada landasan idiil. Pembukaan UUD 1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pengertian jaminan sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.

Menurut ILO, jaminan sosial adalah jaminan yang diberikan kepada masyarakat melalui suatu lembaga tertentu yang dapat membantu anggota masyarakat dalam menghadapi resiko yang mungkin dialaminya, misalnya jaminan pemeliharaan kesehatan atau bantuan untuk mendapat pekerjaan yang bermanfaat. Di samping itu, ILO juga menyebutkan ada tiga kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat dikatakan program jaminan sosial.

  1. Tujuan berupa perawatan medis yang bersifat penyembuhan atau pencegahan penyakit, memberikan bantuan pendapatan apabila terjadi kehilangan sebagian atau seluruh pendapatan, atau menjamin pendapatan tambahan bagi orang bertanggung jawab terhadap keluarga.
  2. Terdapat undang-undang yang mengatur tentang hak dan kewajiban lembaga yang melaksanakan kegiatan ini.
  3. Kegiatan diselenggarakan oleh suatu lembaga tertentu.

Menurut Redja yang dikutip oleh Purwoko, salah satu tujuan dari penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat dalam menghadapi terjadinya ketidakamanan ekonomi. Kenyataannya sebelum suatu masyarakat mencapai kondisi ekonomi yang aman, seringkali diawali dengan kondisi ketidakamanan ekonomi sebagai konsekuensi yang logis dari masalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan yang luas tersebut salah satu diantaranya penyebab munculnya perbedaan pendapat antara golongan masyarakat atas dan masyarakat bawah. Akibatnya terjadi ketidakamanan ekonomi, yang apabila terus dibiarkan dapat menimbulkan konflik atau disintegrasi di dalam masyarakat.

Asuransi sosial adalah program perlindungan dasar bagi pekerja/buruh beserta keluarganya terhadap resiko sosial dalam kaitannya dengan hubungan industrial seperti kecelakaan kerja, kematian, kesehatan, dan hari tua. Program tersebut tidak sepenuhnya dibiayai oleh pemberi kerja, namun pekerja/buruh juga ikut membayar iuran. Jenis asuransi komersial yang seutuhnya dibiayai sendiri oleh peserta sesuai dengan jenis asuransi yang diikutinya.

Program JAMSOSTEK di Indonesia sesungguhnya sudah mulai dirintis sejak tahun-tahun awal kemerdekaan, yaitu ketika Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Perang diberlakukan. Setahun berikutnya diluncurkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 yang mengatur tentang Usia Tenaga Kerja, Jam Kerja, Perumahan, dan Kesehatan Buruh. Perlindungan bagi tenaga kerja diatur lagi pada tahun 1951 dengan diluncurkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja. Pada tahun 1952 diberlakukan Peraturan Menteri Perburuhan No. 48 Tahun 1952 jo. Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh. Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan buruh itu kemudian dilengkapi lagi dengan Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh. Peraturan tersebut menguraikan tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan sosial.

Undang-undang tentang tenaga kerja yang agak lengkap lahir pada tahun 1969. Pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja diatur tentang Penyelenggaraan Asuransi Sosial Bagi Tenaga Kerja Beserta Keluarganya. Pada tahun 1977 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), Asuransi Kematian (AK), dan Tabungan Hari Tua (THT). Bersamaan dengan itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977 tentang Perusahaan Umum (Perum) ASTEK sebagai Badan Penyelenggara Program ASTEK.

Kiprah PT. Jamsostek yang mengedepankan kepentingan dan hak normative tenaga kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT. Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Dengan penyelenggaraan yang semakin maju, Program JAMSOSTEK tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha, tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.

KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini berguna untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam membangun argumentasi dan menuangkan dalam suatu karya tulis yang sistematis dan ilmiah. Serta untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat luas tentang pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja di kota jambi selain itu penelitian ini juga berguna sebagai masukan bagi jamsostek kedepannya.

METODE PENELITIAN

Untuk memudahkan membahas setiap permasalahan dalam penulisan ini, maka perlu dilakukan penelitian. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode sebagai berikut :

1.      Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul yang dibuat, maka penelitian ini adalah penelitian studi kasus atau disebut juga dengan penelitian normatif yuridis, dimana penelitian dapat dilaksanakan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan dengan penelitian lapangan (field research) sehingga dapat menjawab setiap rumusan masalah.

2.      Sumber Data

Guna memudahkan penelitian, maka diambil data dari sumber data primer yaitu sumber data yang didapat langsung dari penelitian dengan cara memakai seperti :

    1. Observasi
    2. Wawancara

Dan sumber data sekunder yaitu terdiri dari:

a.       bahan data primer, seperti peraturan perundang undangan.

b.      bahan data sekunder, seperti buku atau karangan ahli yang berkaitan dengan penelitian.

c.       bahan data tertier, yaitu bahan penunjang penelitian seperti kamus hukum.

3.      Teknik Pengumpulan Data

Dalam jenis penelitian, secara studi kasus, maka teknik pengmpulan data guna memecahkan rumusan masalah dipakai narasumber (Resouce Person) yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian tertentu yang terkait dengan topik yang sedang diteliti, namun dia tidak terlibat langsung dalam kejadian yang sedang diteleiti sehingga posisinya netral dan oleh karenanya pandangan atau pendapatnya objektif dan berkualitas.

4.      Metode Pengolahan dan Analisis data

a.       Pengolahan Data

Dalam penelitian studi kasus, data diolah dengan beberapa tahapan yaitu :

1.      Editing data, atau pemeriksaan data yaitu proses mengoreksi data yang terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuai dengan masalah.

2.      Coding atau penandaan data yaitu proses member catatan atau tanda sehingga dapat menyatakan jenis data, sumbernya atau sesuai kebutuhan penelitian.

b.      Analisis Data

Metode analisa data dalam studi kasus dilakukan dengan cara analisa kualitatif, yaitu suatu teknik analisa data dengan memahami makna dibalik data yang tampak atau mencari kualitas dari penelitian, sehimgga pada akhirnya akan diperoleh simpulan penelitian secara induktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat khusus menjadi hal yang bersifat umum.

KERANGKA SKRIPSI

BAB  1  TENTANG PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan Penelitian
  4. Tinjauan Pustaka
  5. Kegunaan Penelitian
  6. Metode Penelitian

BAB  II  TENTANG TINAJAUAN UMUM

  1. Jamsostek adalah
  2. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
  3. Fungsi Dan Peran Jamsostek
  4. Tujuan Perlindungan Hukum

BAB  III   TENTANG HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  1. Bentuk Perlindungan Hukum
  2. Akibat hukum yang di timbulkan

BAB  IV  TENTANG PENUTUP

  1. Kesimpulan
  2. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA

Sri Rejeki Hartono,

Sendjun H. manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, hlm129

Sutardji, Analisis Kepuasan Peserta Jamsostek pada Kantor Cabang PT. Jamsostek

Moh. Syaufi Syamsuddin, “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja Wanita”,

Manulang S. 190. Pokok-Pokok Hukum Ketenaga kerjaan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek. PT.ASTEK. Jakarta.

Undang-Undang No. Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. PT. ASTEK. Jakarta.

MENANTI KEADILAN

MENANTI KEADILAN: URGENSI PENYELESAIAN MASALAH PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DI UJUNG MASA TRANSISI

 

 image003

 

DISUSUN OLEH:

HARI ANGGARA

10410456

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

PENDAHULUAN

Reformasi dengan terus dilakukannya pembenahan di bidang hukum serta dijalankannya pemberantasan KKN dirasa masih belum maksimal dengan belum dijalankannya salah satu agenda penting, yakni penyelesaian secara menyeluruh berbagai kasus pelanggaranHak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Berbagai kasus seperti extrajudicial killings danarbitrary detention menyusul peristiwa 19652 hingga kini masih belum menentukan titikterang, atau bahkan ditelantarkan3. Demikian juga dengan berbagai penculikan danpenghilangan paksa sejumlah aktivis4, Tragedi Trisakti (Mei 1998), Tragedi Semanggi I(November 1998) dan II (November 1999) adalah sejumlah kecil saja gross violation ofhuman rights masa lalu yang masih belum terselesaikan hingga kini. Padahal, penyelesaian secara tuntas masalah pelanggaran HAM masa lalu amat penting untuk segera dilakukan, mengingat momen peralihan yang kini sedang dijalani diyakini sebagai momen yang paling tepat untuk melakukan perhitungan.  Tulisan ini tak hendak membahas apalagi menginventaris secara mendetail berbagai pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, namun bermaksud mengkaji mengapa hampir satu dasawarsa setelah reformasi 1998, berbagai pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu masih juga belum tuntas terungkap. Selain pula akan mencari faktor :

1 Pengajar Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Master of Laws (International & Comparative Law) diraih dari Monash University Law School Melbourne Australia. Kini menjabat sebagai Ketua Penyunting Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.e-mail : manunggal.wardaya@gmail.com

2 Banyak pembunuhan menimpa mereka yang diduga anggota dan simpatisan PKI. Korban pada umumnya tersebar di

Jawa dan Bali dengan jumlah korban diperkirakan mencapai satu juta jiwa. Mengenai hal ini bacalah antara lain Robert

Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Centre of South East Asia Studies Monash

University, Clayton, 1990), Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang

Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000). Gambaran penahanan tanpa

peradilan para tahanan politik PKI di Pulau Buru dituliskan secara bagus dilengkapi dengan data-data korban oleh

sastrawan Pramoedya A. Toer dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Penerbit Lentera, Jakarta, 1995), terkhusus pada

hal. 290-303.

3 ‘Ketua Komnas HAM: Pelanggaran HAM Masa Lalu Ditelantarkan’, Kompas 2 Mei 2005 hal. 6.

4 Data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan mereka yang diculik pada

1997/1998 berjumlah 23 orang. 9 orang telah dibebaskan, 1 ditemukan meninggal dan 13 orang lainnya hingga kini

dinyatakan hilang. Lihat ‘Korban Penculikan Menuntut’, Kompas 17 Maret 2005 hal. 7. Sementara itu mantan Panglima

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengatakan bahwa kesemua orang yang diculik telah meninggal.

Faktor yang menyebabkan terhambatnya pemberian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu, tulisan ini hendak menekankan arti penting segera dituntaskannya permasalahan HAM masa silam. Pada akhirnya, tulisan ini hendak memberi saran bagi percepatan keadilan transisi di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

Paska Orde Baru, harapan akan terwujudnya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu seolah menemukan titik terang. Bisa dimengerti, karena selama lebih dari tiga dekade Orde Baru, situasi politik yang represif-autoritarian tidak memungkinkan para korban untuk mendapatkan keadilan yang dicitakan. Dunia peradilan di era Orde Baru begitu terkooptasi oleh kekuasaan5. Pers terbelenggu dan terbatasi oleh berbagai produk hukum yang bukannya fasilitatif, namun justeru mengekang6, sementara parlemen hanya merupakan kepanjangtanganan kekuasaan7. Kini, dengan adanya keterbukaan dan demokratisasi8, pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi aspirasi masyarakat terkhusus para korban seolah menemukan momen tepat untuk segera dilaksanakan9. Dalam suatu seminar mengenai keadilan transisional juga

5 Hakim-hakim di masa Orde Baru misalnya secara administrasi berada di bawah Departemen Kehakiman, yang

dikepalai oleh seorang menteri yang bertanggungjawab pada Presiden.

6 Pada masa Orde Baru dikenal apa yang disebut breidel, yakni pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)

oleh Menteri Penerangan, jika Pers memuat berita yang berseberangan dengan kehendak penguasa. Breidel pernah

menimpa tiga penerbitan terkemuka di Indonesia yakni Tempo, Detik ,dan Editor terkait dengan pemuatan berita

mengenai pembelian kapal perang eks- Jerman.

7 Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru merampingkan puluhan partai politik yang ada untuk melebur (apa yang

dikenal dengan fusi partai) menjadi 2 (dua) partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi

Indonesia dan 1 (satu) Golongan Karya. Partai politik kala itu tidak pernah mandiri, karena campurtangan yang begitu

mendalam oleh pemerintah. Praktis hanya Golkar yang memenangi berbagai pemilu sepanjang sejarah Orde Baru.

8 Basil Fernando dari Asian Human Rights Commission mendefinisikan demokratisasi sebagai “ a process whereby

people engage in constructing a state for their own benefit with social equality as its core principle, working through an

elected government operating under the rule of law, supported by functioning institutions subject to a constitutional

framework incorporating international norms and standards as set out in United Nations’ human rights treaties and

covenants”. Lihat Basil Fernando, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam Protection

and Participation: Human Rights Approach (2003), hal. 19.

9 Pada 24 Maret 2005 misalnya, korban dan keluarga korban dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada

kerusuhan Mei 1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mendatangi Komnas

HAM. Mereka yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan isteri korban yang diculik yang hingga kini tak jelas

keberadaannya. Lihat ‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM Janjikan Pertengahan Mei

2005’, Kompas 26 Maret 2005 hal. 7. Sementara itu para korban yang dituduh terlibat G 30 S/PKI menggugat 10 miliar

kepada mantan-mantan presiden dari Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono. Menggunakan jalur class action dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata, para korban

merasa bahwa hak dasar mereka sebagai warganegara telah dirampas tanpa mendapat rehabilitasi dari Negara. Padahal

pada tahun 2003 Mahkamah Agung pernah menyarankan pada Presiden agar merehabilitasi para korban yyang dituduh

terlibat G 30 S PKI sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-empat. Lihat ‘Korban G30SPKI Gugat

Para Presiden’ dalam majalah Legal Review No. 33 Th II Juni 2005, hal. 29.

terungkap bahwa penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu adalah mendesak

untuk dilaksanakan jika Indonesia masih berkomitmen sebagai negara demokrasi10.

1. Beberapa Alasan Pentingnya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM masa

Lalu

Setidaknya ada tiga alasan mengapa penyelesaian berbagai kasus masa lalu mendesak untuk segera dilaksanakan. Pertama, dapat dikatakan bahwa Indonesia kini masih berada

pada masa peralihan/transisi dari periode otoriter ke rezim yang (lebih) demokratik. Masa

peralihan adalah masa yang strategis, momen paling tepat untuk menyelesaikan kasus-

kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM pemerintahan lalu yang autokratik dan

sewenang-wenang. Dikatakan sebagai masa yang strategis karena pelaku pelanggaran

HAM diharapkan masih dapat dimintai pertanggungjawabannya. Demikian pula barang

bukti yang mendukung pengungkapkan diharapkan masih dapat diinventaris, dan saksi-

saksi maupun korban diharapkan pula masih dapat mengingat peristiwa dengan baik.

Kedua, penyelesaian kasus masa lalu mempunyai misi penting untuk mencegah impunitas

atau kekebalan dari para pelanggar HAM. Kesan bahwa para pelanggar HAM bisa bebas

meninggalkan korbannya tanpa pertanggungjawaban tentu saja merupakan sesuatu yang

sangat kontras dengan nilai-nilai keadilan dan cita-cita negara hukum. Penetapan

kesalahan terhadap pelaku penting agar doktrin equality before the law dalam negara

hukum yang juga merupakan norma internasional dalam Universal Declaration of Human

Rights (UDHR)11 tidak hanya menjadi sekedar mitos.

Ketiga, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan memberikan keadilan dan

pemulihan hak bagi para korban adalah adalah hak setiap orang yang dilanggar hak

dasarnya sebagaimana diamanatkan Pasal 8 UDHR12. Lebih jauh, pemberian keadilan

bagi para korban adalah syarat mutlak tercapainya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi atau

10 Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (2003), hal. 280.

11 Doktrin ini terdapat dalam Pasal 7 UDHR menegaskan “All are equal before the law and are entitled without any

discrimination to equal protection of the law. All are entitled equal protection against any discrimination in violation of

this Declaration and against any incitement to such discrimination.” Piagam Hak Asasi Manusia Jakarta yang

didekelarasikan para korban pelanggaran HAM pada 10 Desember 2003 menyatakan bahwa semua korban pelanggaran

HAM berhak atas penyelesaian yang adil melalui sistem hukum yang transparan dan terbuka. Korban juga berhak

mendapat kompensasi, rehabilitasi nama dan martabat sehingga martabat dan statusnya dalam hubungan antar manusia

dapat dipulihkan. Lihat mengenai ini dalam Josefina Bergsten & Philip Setunga et.al (eds), Close Contact With Victims

Makes Human Rights Work Meaningful and Effective (2004), hal 150.

12 Pasal 8 UDHR menegaskan “Everyone has the right to effective remedy by the competent national tribunals for act

violating fundamental human rights granted by him by the constitution or by law.”

perdamaian atau persahabatan baru akan mungkin terwujud, jika pelaku telah ditetapkan

sebagai pihak yang bersalah dan menjalani hukuman (atau kewajiban lain menurut

hukum), dan pihak korban mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan pemulihan

nama baik. Tanpa adanya pengungkapan dan penetapan siapa yang salah dan

bertanggung jawab dan kewajiban bagi pelaku (apakah untuk menjalani hukuman,

meminta maaf dan atau memberi ganti rugi) akan sangat sukar dapat tercipta perdamaian

dan persahabatan13. Bagaimana mungkin akan memaafkan atau melupakan peristiwa

masa lalu jika korban masih dihinggapi rasa penasaran dan dendam serta terzalimi? Alih-

alih melupakan dan memaafkan, benih kebencian dan permusuhan bisa jadi akan tetap

hidup dan dapat menimbulkan masalah pelik di kemudian hari, bahkan jauh berpuluh

bahkan beratus tahun setelah pelanggaran HAM terjadi.

2. Faktor Penghambat Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa –setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat-

pengungkapan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu berjalan dengan

amat lambat dan tersendat? Bahkan kalaupun telah sampai pada proses hukum

sebagaimana Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, keputusan Pengadilan HAM

ad hoc bukannya memberi keadilan pada korban, namun sebaliknya justeru

mengecewakan14. Jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan ini adalah pertama;

karena banyak pihak yang bertanggungjawab dalam pelanggaran HAM masa lalu masih

mempunyai pengaruh dalam pemerintahan15. Kalaupun tidak secara langsung memegang

kendali pemerintahan, jaringan yang dimiliki baik dalam eksekutif maupun legislatif

membuat mereka tetap mampu untuk berusaha berkelit dan menghindar dari proses

hukum16. Kesimpulan Pansus DPR pada 27 Juli 2001 yang menyatakan bahwa kasus

Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat adalah bukti bahwa

13 Lihat Asvi W. Adam, ‘Reparasi Masa Lalu’, Jawa Pos 18 Juli 2005.

14 Pengadilan HAM Tinggi ad hoc Kasus Tanjung Priok memutuskan bahwa semua terdakwa tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat. Dalam pertimbangannya hakim juga berpendapat

bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah pelanggaran HAM berat, namun pelanggaran hukum pidana

biasa sesuai Pasal 351 KUHP yakni penganiayaan, sehingga kasus tersebut bukanlah komptenesi pengadilan HAM ad

hoc.

15 Soetandyo Wignjosoebroto, ‘Transitional Justice (TJ): Apakah Itu dan Perlukah ‘TJ’ Ini Direalisasi?’ dalam

Soetandyo Wignjosoebroto, Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 (2003) 92. Adanya unsur militer

dalam tubuh Komnas HAM juga disinyalir Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) sebagai faktor yang

membuat kinerja Komnas HAM menjadi lambat dalam menangani orang hilang. Lihat ‘Dalam Kasus Orang Hilang

Keseriusan dan Keberanian Komnas HAM dipertanyakan’, Kompas 23 Maret 2005 hal.7.

16 Ketika membahas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Fraksi TNI/Polri menolak dan mengusulkan

dihapuskannya kata ‘kebenaran’ dari komisi ini. Lihat mengenai hal ini dalam ‘Pembahasan RUU Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi: Elsam Menolak Usulan dari Faksi TNI/Polri’ Kompascybermedia <http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0405/24/Politikhukum/1039111.htm> diakses pada 24 Mei 2004.

kekuatan dan jaringan yang dimiliki oleh ‘unsur masa lalu’ dalam badan legislatif masih

kuat dan mampu membuat para pelaku secara legal terhindar dari tanggung jawab.17

Mantan Presiden Soeharto yang disebut-sebut sebagai pihak yang paling

bertanggungjawab terhadap berbagai pelanggaran HAM berat selama masa

kekuasaannya yang lebih dari 30 tahun hingga tulisan ini diturunkan masih juga bebas.

Mereka yang dekat dengan Soeharto, atau mendukung kekuasaannya yang represif

masih ada dalam kekuasaan atau setidaknya mempunyai relasi yang kuat dan intim

dengan kekuasaan yang ada.

Ke-dua, jika dicermati, pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia hampir selalu melibatkan

pihak-pihak yang memiliki legitimasi untuk menggunakan alat-alat kekerasan yakni militer

dan kepolisian. Kalaupun pelanggaran dilakukan oleh elemen masyarakat, setidaknya

dukungan dan peran militer tak bisa sama sekali dilepaskan18. Keterangan para aktivis

dan mantan korban yang selamat menunjukkan bahwa aparat berperan dalam penculikan

dan penganiayaan terhadap mereka19. Penembakan yang berakhir dengan tewasnya

demonstran dalam Tragedi Semanggi, kerusuhan Mei 1998 dan dugaan pemerkosaan

terhadap etnik Tionghoa pada mei 1998 mengindikasi kuat adanya suatu upaya yang

sistematik dari pihak-pihak yang mempunyai kemampuan persenjataan dan mobilisasi

untuk melakukannya20. Kendati pelaku tidak lagi duduk dalam kekuasaan maupun

jabatan-jabatan strategis lainnya (dengan adanya desakan profesionalisasi tentara), jiwa

17 Lihat ‘Kasus Trisakti Mungkin Dibuka’, Kompas 28 Juni 2005 hal. 3. Dari 50 anggota Pansus, hanya 26 orang yang

hadir, sedangkan 14 dari 26 orang itu menyatakan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi adalah pelanggaran biasa. Pada

30 Juni 2005 keputusan ini akhirnya dibatalkan oleh Komisi III DPR yang menginginkan agar kasus itu dibuka kembali

dan agar segera dibentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc. Sebenarnyalah keputusan DPR itu lebih bersifat politik adanya,

karena Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 hanya menyebutkan bahwa terbentuknya Pengadilan ad hoc adalah

atas usulan DPR, jadi keputusan Pansus DPR yang menyatakan tidak adanya pelanggaran HAM berat sebenarnya tidak

relevan bahkan berlebihan. Lihat Fajrimei A.Gofar, ‘Angin Segar dari Senayan?’, Kompas 7 Juni 2005 hal. 6.

18 Lihat misalnya Brian May, The Indonesian Tragedy (1978) hal. 121-22. Dalam pembantaian massa PKI, Harold

Crouch menulis “Although they had not sought the formal permission of the leaders of the KAP-Gestapu or the military

authorities, it is likely that they had been assured by junior army officers that the senior generals would not be

displeased if the PKI buildings were “spontaneously” attacked by the “people”. In any case, the army took no steps to

protect the PKI building, and it did not act to stop further attacks on other building associated with the PKI during next

few days. Lihat Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (1978) hal. 141. Kerusuhan dan konflik horizontal

yang terjadi paska Orde Baru juga disinyalir oleh Asian Legal Resource Centre sebagai bagian dari upaya militer untuk

tujuan-tujuan politis dan financial. Lihat Asian Legal Resource Centre, ‘Attacks on Human Rights Defenders in

Indonesia: Written Statement To The UN Commission on Human Rights 58th Session, 2002’ dalam Article 2 Vol.1

No.1 February 2002, hal. 33.

19 Baca misalnya Ahmad Taufik, ‘Dari Penjara Ke Penjara’ dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Politik

Pembebasan Tapol (1998), hal. 1-14.

20 Lihat ‘Soeharto Harus Ditanyai soal Penculikan Aktivis’, Kompas 16 Mei 2005 hal.6.

korps dan solidaritas membuat penyidikan terhadap mereka yang berasal dari unsur

militer mengalami kendala yang cukup signifikan.

Ke-tiga, upaya untuk mengungkap kebenaran masa lalu juga dipersulit dengan tentangan

yang cukup serius dari masyarakat. Hal ini karena ada elemen masyarakat juga terlibat

dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Upaya penggalian kuburan maupun

pemakaman kembali korban pembantaian paska peristiwa 1965 di Temanggung misalnya

mendapat tentangan dari sejumlah elemen keagamaan tertentu21. Hal ini bisa dimengerti

karena kasus pembantaian masa yang diduga anggota maupun simpatisan PKI selama

ini seolah mempunyai justifikasi, terutama jika dikaitkan dengan stereotype PKI yang tak

beragama, perilakunya yang dicitrakan sebagai kejam22 dan predikat yang melekat

sebagai partai terlarang23. Jika peristiwa pembantaian paska 1965 hendak dikatakan

sebagai pelanggaran HAM, maka kebenaran yang telah diyakini bahwa PKI harus

dibubarkan dan orang-orang yang diduga layak untuk dihabisi akan menjadi tercabar.

Sebaliknya kalau elemen masyarakat yang terlibat pembantaian-terlebih mereka yang

berasal dari kalangan agama- hendak dinyatakan sebagai pelanggar HAM, hal demikian

dipastikan tak akan mudah diterima.

Faktor lain yang membuat Indonesia tak mampu secara maksimal dan sesegera mungkin

memanfaatkan momen peralihan adalah kendala politik. Paska Orde Baru Soeharto,

Indonesia dipimpin beberapa rezim berbeda yang mempunyai kepentingan politik dengan

tidak dituntaskannya penyelidikan kasus pelanggaran HAM24. Pada masa pemerintahan

Habibie, pengusutan dan pengadilan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Mudah

dimengerti, ia berkepentingan untuk melindungi sang patron, Soeharto. Habibie memang

membebaskan para tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) pada hari-hari

21

Lihat

Lembaga

Studi

dan

Advokasi

Masyarakat,

‘Kebencian

Ternyata

Awet’

<http://www.elsam.minihub.org/txt/asasi/2001_0304/06.html&gt; diakses pada 22 Juni 2005. Lihat pula ‘Pro-Kontra

Penghapusan

Tap

XXV/1996’

(2000)

Kompascybermedia

<http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0004/03/nasional/prok06.htm> diakses pada 22 Juni 2005.

22 Pada masa Orde Baru, diciptakan sebuah film berjudul ‘Pengkhianatan G 30 S PKI’ karya Arifin C. Noor. Film ini

menjadi tontonan wajib anak sekolah sekaligus menjadi indoktrinasi dan penggiringan bahwa Partai Komunis Indonesia

bertanggung jawab terhadap pembunuhan 6 (enam) jenderal Angkatan Darat di Jakarta pada dinihari 1 Oktober 1965.

Setelah Soeharto turun dari kekuasaannya, berbagai spekulasi mengenai siapa yang berada di balik malam berdarah itu

mengemuka kembali, namun hingga kini tidak ada satu teoripun yang dianggap sahih untuk menentukan siapa yang

bertanggung jawab.

23 Dikukuhkan dengan Tap MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966.

24 Hal seperti ini sebenarnya juga terjadi di negara lain, di mana rezim yang baru mengalami banyak kendala ketika

menghadapi permasalahan yang kompleks yang disebabkan tuntutan terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Lihat

‘Komisi

Kebenaran

dan

Rekonsiliasi’

dalam

Tempointeraktif

2

Mei

2004

<http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/05/02/nrs,20040502-02,id.html&gt; diakses pada 22 Juni 2005.

pertama kekuasaannya, namun langkahnya itu disinyalir tak lepas dari tekanan

internasional25. Tidaklah mengherankan jika pembebasan para tahanan politik dan

narapidana politik tidak diikuti dengan pengungkapan maupun peradilan pelanggaran

HAM masa lalu.

Kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang kemudian menggantikan Habibie sebenarnya

diharapkan akan mengungkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Wahid dikenal

sebagai figur penganjur demokrasi yang melakukan berbagai hal yang cukup signifikan

bagi penghormatan HAM seperti pengakuan eksistensi minoritas dan toleransi antar umat

beragama26. Ia juga sempat menyampaikan permintaan maaf kepada para korban

pelanggaran HAM 196527. Namun demikian, relasi Wahid dengan organisasi masyarakat

yang sedikit banyak juga terkait dengan peristiwa pembantaian masa yang diduga

anggota PKI tahun 1965-1966, menimbulkan kesukaran tersendiri baginya. Walau juga

mendapat pujian, usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran

PKI dan pelarangan ajaran marxisme, leninisme dan komunisme juga mendapat

tentangan banyak pihak.

Adapun pengganti Wahid yakni Megawati Soekarnoputri sebenarnya diharapkan mampu

memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Sebagaimana luas

diketahui, Megawati bersama pendukungnya adalah korban dalam kasus 27 Juli 199628.

Namun sayangnya, peluang yang terbuka tidak dimanfaatkan pimpinan Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan itu dengan baik. Kendati mendapat legitimasi yang kuat serta

mengeluarkan beberapa produk hukum penting yang berkaitan dengan HAM29, Megawati

25 Mengenai pembebasan para tahanan politik segera setelah runtuhnya rezim Soeharto dapat dibaca dalam Politik

Pembebasan Tapol (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998).

26 Dengan Inpres No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 Wahid mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

27 Walau mengakui bahwa ia mempunyai kerabat yang terbunuh oleh orang Komunis pada peristiwa Madiun 1948,

Wahid tidak menyimpan dendam. Lihat Asvi W. Adam, ‘Gus Dur, Pahlawan HAM’ dalam Kompas 18 Juli 2005 hal. 6.

28 Peristiwa yang dikenal dengan akronim Kudatuli ini terjadi ketika ratusan massa yang diduga adalah massa preman

dengan bantuan aparat keamanan menyerbu kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro,

Jakarta. Penyerbuan ini didiamkan saja oleh aparat yang berjaga di sekitar Jalan Dipoegoro. Ratusan massa pendukung

Megawati yang berusaha mempertahankan kantor tersebut dikabarkan hilang, dan banyak yang percaya bahwa mereka

telah tewas dalam serbuan itu. Sementara sekelompok anak muda yang menamakan diri Partai Rakyat Demokratik

(PRD) yang membela Megawati menjadi korban politik dengan peristiwa itu. Mereka mendapat cap sebagai gerakan

kiri baru dan komponen pendukung aliran komunisme, suatu cap yang merupakan stempel mati dalam kehidupan

politik di Indonesia. Kebanyakan anggota PRD ditangkap dan dipenjarakan hingga dibebaskan ketika Habibie menjabat

Presiden.

29 Antara lain dikeluarkan PP RI No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban

Pelanggaran HAM Berat.

ternyata tidak bisa melepaskan diri dari kompromi dan berkoalisi dengan unsur-unsur

masa lalu (baca Orde Baru) terutama militer demi mempertahankan posisinya sendiri30.

Slogan-slogan untuk menjunjung tinggi hukum seperti yang sering didengung-dengungkan

sebelum ia berada di kekuasaan tidak terbukti, walau untuk kasus yang menimpanya

sendiri.

3. Tiadanya Penuntutan: Kecelakaan Besar

Semakin terbengkalainya pengusutan dan pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu

tentu akan membawa dampak yang tidak baik jika tidak sesegera mungkin dilakukan

langkah langkah menuju ke arah penyelesaian. Impunitas, atau kekebalan akan menjadi

terlembagakan. Sebagaimana hukum pidana telah mengingatkan, sanksi keras akan

menjadi penjera dan pencela bagi pelaku sekaligus peringatan bagi pihak lain untuk tidak

melakukan kejahatan serupa. Tidak dilakukannya penuntutan dan pengungkapan serta

pemberian sanksi terhadap kejahatan HAM masa lalu akan menjadi inspirasi mereka yang

kuat dan berkuasa untuk menggunakan cara apa saja termasuk melanggar HAM demi

kekalnya kekuasaan yang dimilikinya.

Tidak adanya penuntutan yang serius dan pengungkapan peristiwa juga akan menjadi

inspirasi bagi pihak-pihak lain kelak di kemudian hari untuk mengulangi melakukan hal

yang serupa. Pembunuhan aktivis HAM terkemuka Munir pada akhir 2004 bisa jadi adalah

akibat tidak langsung dari tidak adanya penuntasan akan penyidikan dan pengadilan

pelanggaran HAM masa lalu atas berbagai peristiwa penculikan dan pembunuhan para

aktivis31. Demikian juga peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa sebagaimana terjadi di

Makassar pada 2004 bisa jadi dilakukan karena alam bawah sadar aparat ‘terilhami’

peristiwa Semanggi sebagai hal yang biasa saja, dan bukan merupakan pelanggaran hak

fundamental manusia.

Pada akhirnya tiadanya klarifikasi sejarah dan tidak diberikannya keadilan kepada para

korban akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan hukum. Konflik

30 Lihat Mugiyanto, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Kekhawatiran Korban Pelanggaran HAM’, SUAR Vol.5

No. 08 & 09 Tahun 2004, hal. 10.

31 Pegiat HAM Munir dibunuh dengan cara diracun arsenik ketika sedang berada dalam penerbangan menuju

Amsterdam untuk melanjutkan studi Masternya di Nederland. Diduga, pembunuhan itu terkait dengan upaya Munir

untuk membongkar berbagai kejahatan HAM masa lalu. Di luar Indonesia hal serupa pernah menimpa Bishop Jose

Juan Gerardi , koordinator REHMI –semacam komisi kebenaran – di Guatemala yang dibunuh oleh pihak-pihak yang

tak ingin kebenaran terungkap.

dan dendam akan terpelihara dalam memori para korban dan atau keluarganya yang bisa

meledak kelak di kemudian hari dalam bentuk konflik yang lain baik yang vertikal maupun

horizontal. Hukum tidak lagi dijadikan sebagai sarana penyelesaian masalah bagi para

korban, pencari keadilan atas pelanggaran HAM. Sebaliknya hukum akan semakin

dianggap dan dirasakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan penindas bagi

mereka yang lemah.

4. Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu terkhusus di Indonesia,

kemauan dan keberanian politik yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat

mutlak diperlukan. Hal ini karena pengungkapan dan penuntasan pelanggaran HAM di

negeri yang baru lepas dari belenggu pemerintahan yang otokratik adalah pekerjaan maha

berat yang dipastikan akan mendapat resistensi dari pihak-pihak yang berkepentingan

agar pelanggaran HAM masa lalu tetap tak tersentuh. Legitimasi dari rakyat adalah modal

yang harus dimanfaatkan untuk terus mengadakan penyelidikan dan tindakan tindakan

penyelesaian baik melalui Pengadilan HAM ad hoc maupun melalui Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi

Pemerintahan Presiden Yudhoyono yang ketika tulisan ini dibuat masih berjalan, nampak

menunjukkan komitmen untuk memberikan keadilan terhadap para korban dan

pengungkapan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu32. Pada masa

rezim SBY pulalah secara khusus dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

sebagaimana dimandatkan pembentukannya melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang

Persatuan Nasional. Meskipun masih ada kelemahan di sana sini dalam UU KKR,

pembentukan komisi ini dengan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR menunjukkan

kemauan politik yang tentu saja patut disambut baik. Keberanian Yudhoyono yang

notabene berasal dari militer akan diuji, apakah ia mampu bertindak tegas dengan

dukungan rakyat ataukah hendak melindungi unsur masa lalu yang sarat dengan

pelanggaran HAM.

Momen di masa transisi harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, wakil rakyat di

parlemen, Komnas HAM maupun KKR. Tugas yang dipikul oleh KKR dipastikan akan

32 Lihat ‘Presiden Ingin Rehabilitasi dan Beri Kompensasi Tapol’, Kompas 17 Maret 2005 hal. 6.

maha berat, oleh karenanya komisi ini harus selalu diisi oleh figur-figur yang tidak saja

menguasai teknis hukum dan perundangan, namun juga mempunyai kredibilitas dan

komitmen tinggi untuk menegakkan penghormatan HAM33. Karena sifatnya yang sangat

strategis dan rekruitmen yang sangat terbuka, bukannya tak mungkin mereka yang tidak

menghendaki pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu berusaha memasuki organisasi

ini. Di sinilah kontrol dari masyarakat terutama para korban menjadi relevan untuk

menjaga KKR dari upaya-upaya pengaburan dan impunitas para pelanggar HAM berat.

KKR juga dituntut untuk bekerja dengan cepat, karena semakin lama kasus bergulir, maka

akan semakin sukarlah untuk mengumpulkan barang bukti dan mendapat keterangan dari

para saksi yang berarti pula akan semakin sukar menyatakan bahwa seseorang atau

pihak tertentu bersalah dan atau bertanggungjawab terhadap suatu peristiwa pelanggaran

HAM. Kasus yang telah terjadi puluhan tahun silam seperti kasus 1965 adalah hal krusial

yang mendesak untuk diselesaikan mengingat baik pelaku maupun para korban kini telah

dalam usia lanjut, dan banyak saksi sejarah telah meninggal dunia, dan bukti-bukti telah

sukar diketemukan. Jika terus berlarut dan tidak menemukan titik terang, pada gilirannya

nanti, dendam yang ditimbulkan dari perasaan terzalimi yang tak pernah terobati akan

tetap mengendap di hati masyarakat dan menjadi permasalahan laten.

Pemberian keadilan kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi

Kebenaran tidaklah dapat disamakan dengan proses hukum pada umumnya. Di sini,

muatan politik cukup mengedepan dan mewarnai, selain kompleksnya permasalahan

hukum yang akan ditimbulkan. Penetapan pihak yang bersalah menjadi penting dilakukan,

walau tidak selalu diikuti dengan penghukuman para pelaku (karena berbagai kendala

seperti yang disebut di atas). Indonesia bisa mengambil contoh dan mempelajari berbagai

33 Dari wawancara terhadap calon anggota KKR pada 12-15 Juli 2005 terungkap bahwa dari 61 calon yang lolos seleksi

tahap III (profile assessment test ) tidak seluruhnya menguasai hal ihwal KKR dengan baik. Ada calon anggota yang

mengkaitkan KKR dengan korupsi dan hal-hal lain yang tidak relevan dengan keadilan transisional. Bacalah mengenai

hal ini dalam ‘Seleksi Anggota KKR: Motivasi Calon Dipertanyakan’, Kompas 16 Juli 2005 hal.3. Keanggotaan KKR

yang berjumlah 21 juga dinilai terlalu besar dan dikhawatirkan akan membuat KKR tidak diisi dengan orang-orang

yang berkualitas. Lihat mengenai hal ini dalam ‘UU KKR Sarat kepentingan Politik’ , SUAR vol. 5 No. 08 & 09 Tahun

2005 hal. 12, sebuah wawancara dengan Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

(Elsam).

model transitional justice seperti yang pernah dilakukan di Spanyol, Ethiopia, Argentina,

South Africa, maupun El Savador34.

 

 

KESIMPULAN

 

 

Esensi terpenting dari transitional justice adalah para korban pelanggaran HAM berat

masa lalu mendapatkan keadilan sesegera mungkin ketika suatu negara berada dalam

masa transisi/peralihan. Pemberian keadilan bagi para korban ini sekaligus edukasi yang

amat berharga bagi masyarakat untuk mengetahui lembar hitam pekat sejarah bangsa

yang tak boleh terulang lagi di kemudian. Lebih jauh dengan adanya pengungkapan dan

pelurusan sejarah maka perdamaian sebagai bentuk-bentuk keadilan transisional,

rekonsiliasi, ishlah, atau apapunlah namanya untuk tercapainya kohesi nasional akan

menjadi sesuatu yang possible untuk diwujudkan.

Transitional justice berangkat dari pemikiran bahwa suatu negara hendak menyelesaikan

masalah-masalah pelanggaran HAM berat masa lalu ketika negara tersebut sedang

berada di masa peralihan dan penyelesaian sengketa dengan mengggunakan prosedur

hukum biasa adalah mustahil. Pemerintah –oleh karenanya- harus memanfaatkan momen

transisi ini dengan sebaik mungkin untuk sesegera mungkin memberikan keadilan bagi

para korban. Terlalu berlarutnya penyelesaian akan membuat bangsa ini kehilangan

momen transisi, karena sudah tak lagi layak untuk disebut “berada dalam masa

peralihan”. Pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu di masa ‘mapan’ tidak bisa

lagi menggunakan pendekatan dan kerangka berfikir transitional justice, melainkan

dengan hukum positif biasa. Padahal kita tahu, penyelesaian dengan jalur hukum biasa

(yang formalistik dan prosedural itu) kerap membawa hasil yang jauh dari keadilan yang

substansial.

34

Analisa mengenai model-model transitional justice dan kemungkinannya untuk diterapkan di Indonesia dapat dibaca

dalam Manunggal K. Wardaya, ‘Justice For The Victims: The Importance To Reveal 1965-1966 Massacres in the

Transitional Period In Indonesia’, paper tidak dipublikasikan (Monash University Law School, Melbourne, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

 

—————————, ‘Dalam Kasus Orang Hilang Keseriusan dan Keberanian Komnas

HAM dipertanyakan’, Kompas 23 Maret 2005

—————————, ‘Kasus Trisakti Mungkin Dibuka’, Kompas 28 Juni 2005

—————————, ‘Ketua Komnas Ham: Pelanggaran HAM Masa Lalu Ditelantarkan,

Kompas, 2 Mei 2005

—————————, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Tempointeraktif

<http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/05/02/nrs,20040502-02,id.html&gt;

diakses pada 22 Juni 2005

—————————, ‘Korban Penculikan Menuntut’, Kompas 17 Maret 2005

—————————, ‘Motivasi Anggota Dipertanyakan’, Kompas 16 Juli 2005

—————————, ‘Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Elsam

Menolak

Usulan

dari

Faksi

TNI/Polri’,

Kompascybermedia

<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/24/Politikhukum/1039111.htm&gt;

diakses pada 24 Mei 2004

—————————, ‘Presiden Ingin Rehabilitasi dan Beri Kompensasi Tapol’, Kompas,

17 Maret 2005

—————————, ‘UU KKR Sarat Kepentingan Politik’, SUAR Vol. 5 No. 08 & 09 Tahun

2005

—————————,‘Korban G30SPKI Gugat Para Presiden’, Legal Review No. 33 Th II

Juni 2005

—————————, ‘Soeharto Harus Ditanyai soal Penculikan Aktivis’, Kompas 16 Mei

2005 hal.6.

—————————,‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM

Janjikan Pertengahan Mei 2005’, Kompas 26 Maret 2005

Adam, Asvi W., ‘Gus Dur, Pahlawan Reformasi’, Kompas 18 Juli 2005

Adam, Asvi W., ‘Reparasi Masa Lalu’, Jawa Pos 18 Juli 2005

Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (Pusat Studi Hukum

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2003)

Asian Legal Resource Centre, ‘ Attacks on Human Rights Defenders in Indonesia: Written

Statement To The UN Commission on Human Rights 58th Session, 2002’ dalam

Article 2 Vol.1 No.1 Tahun 2002.

Cribb, Robert, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Centre of

Southeast Asian Studies Monash University, Clayton, 1990)

Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia (Cornell University Press, Ithaca,

1978)

Fernando, Basil, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam

Asian Human Rights Commission, Protection and Participation: Human Rights

Approach (AHRC & ALRC Publication, Hong Kong, 2003)

Gofar, Fajrimei A.,’ Angin Segar dari Senayan’, Kompas, 7 Juli 2005

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPR-S/1966

May, Brian, The Indonesian Tragedy (Graham Brash, Singapore, 1978)

Mugiyanto, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Kekhawatiran Korban Pelanggaran

HAM’, SUAR Vol. 5 No. 08 & 09 Tahun 2004.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi,

Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.

Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Masal yang Terlupakan

(Jombang-Kediri 1965-1966) (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000)

Taufik, Ahmad, ‘Dari Penjara Ke Penjara’ dalam Politik Pembebasan Tapol (YLBHI,

Jakarta, 1998)

Toer, Pramoedya A., Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Penerbit Lentera, Jakarta, 1995)

Universal Declaration of Human Rights 1948

Wardaya, Manunggal K., Justice For The Victims: The Importance to Reveal The 1965-

1966 Massacres in the Transitional Period in Indonesia, paper tidak dipublikasikan

( Monash University Law School, Melbourne, 2004)

Wignjosoebroto, Soetandyo, ‘Transitional Justice (TJ): Apakah Itu? Dan Perlukah TJ Ini

Direalisasi?’ dalam Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21,

Kumpulan Tulisan Tentang Hak Asasi Manusia (Pusat Studi Hak Asasi Manusia

Universitas Surabaya & The Asia Foundation, Surabaya, 2003)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Politik Pembebasan Tapol Napol (YLBHI, Jakarta,

1998)